Oleh : Arbain Rambey
Saat “ditemukan” oleh sekelompok
arsitek Indonesia, Yori Antar dkk, agustus 2008, desa Waerebo bagai barang
asing di negeri sendiri. Saat itu, mereka tertarik pada sebuah foto di internet
yang menggambarkan sebuah desa dengan rumah berbentuk kerucut. Menakjubkan
lagi, desa dalam foto itu berada di wilayah Indonesia, tepatnya di Pulau
Flores.
Namun, saat itu siapa kenal Waerebo
yang terletak di kecamatan satar mese barat, manggarai, nusa tenggara timur,
ini? Sampai tulisan ini diturunkan pun, banyak warga kecamatan satar mese barat
yang belum tahu keberadaan waerebo.
“Saat kami sudah tiba di pulau flores
pun, semua yang kami tanyai tak ada yang tahu tentang Waerebo,” ujar Yori.
Titik terang didapat kelompok
arsitekyang senang pada rumah tradisional nusantara itu. Di sebuah warung
makan, mereka melihat foto waerebo di dinding. Dari pemilik rumah makan, Yori
dan kawan-kawan akhirnya bertemu dengan beberapa orang, seperti martinus anggo
dan blasius monta (keduanya berasal dari waerebo), yang bisa membawa mereka
menginjakkan kaki di waerebo.
Apa kejutan setelah tiba di Waerebo?
Dalam buku tamu yang ditunjukkan Blasius monta terlihat bahwa sejak 2002,
Waerebo sudah rutin dikunjungi turis dan peneliti mancanegara. Dari total 480
orang yang tercatat mengunjungi Waerebo sampai 2009, hanya Sembilan orang dari
Indonesia, yaitu Yori dan kawan-kawan. Lainnya datang dari perancis, Inggris,
Belanda, Ceko, dan Negara-negara Eropa lain, Amerika Serikat, Taiwan, serta
Jepang. Bisa dikatakan, Waerebo sudah mendunia sebelum dikenal orang Indonesia.
Terpencil
Kalau Waerebo cukup terlupakan dip eta
pariwisata dan budaya Indonesia, itu bisa dimaklumi sebab letak Waerebo sungguh
terpencil dan sulit dicapai. Kalau anda akan mengunjungi Waerebo, hal pertama
yang harus dilakukan adalah tiba terlebih dahulu di Labuan Bajo di ujung barat
pulau flores. Dari denpasar, Bali, dalam sehari ada beberapa penerbangan
langsung ke Labuan Bajo yang merupakan pintu masuk sebelum mengunjungi Pulau
Komodo itu.
Dari Labuan Bajo, anda masih harus
naik kendaraan selama lima jam menuju Dintor di pantai yang menghadap ke pulau
mules di selatan flores. Sekadar informasi, jalan dari Labuan Bajo ke Dintor
adalah jalan aspal yang tak cukup untuk papas an dua mobil. Untunglah dalam
perjalanan dua jam itu, mobil kami jarang bertemu mobil lain.
Sampai di Dintor, anda bermalam untuk
keesokan harinya naik kendaraan bermotor lagi selama sekitar satu jam menuju
Denge. Dari denge, anda bisa mencapai Waerebo setelah berjalan kaki naik gunung
selama sekitar empat jam.
Pada zaman serba mudah saat ini,
mencapai Waerebo begitu sulit. Saat orang kota kewalahan dengan kemacetan,
perjalanan ke Waerebo bisa membuat kita seakan hidup di planet yang jarang
penghuninya.
Namun, mengapa Waerebo begitu menarik?
Dari segi penampilan, Waerebo memang
sangat “kartu pos”. terlatak di antara puncak-puncak gunung dengan pemandangan
sangat indah, rumah-rumah di Waerebo begitu unik untuk melengkapi lanskap yang sudah
luar biasa itu.
Pertanyaan yang kemudian layak
mengemuka, mengapa nenek moyang warga Waerebo memilih tempat tinggal begitu
tinggi dan jauh dari desa sekitar? Walau umur pasti Waerebo tidak diketahui,
diperkirakan tempat itu sudah dihuni selama ratusan tahun.
Kearifan
Lokal
Professor gunawan Tjahjono, Guru Besar
Arsitektur dari UI, menulis tentang Waerebo di buku Pesan dari waerebo dengan kutipan yang kira-kira menekankan
kedekatan pendiri Waerebo dengan alam yang akhirnya membawa mereka menuju kebahagiaan
dalam kehidupan sehari-hari.
“Pemahaman akan kebutuhan bersahabat
dengan alam itu bagi masyarakat perlu
diturunkan kepada generasi berikutnya sejauh pengalaman cara berhubungannya
pernah membuahkan hasil gemilang yang membahagiakan semua anggota,” demikian
sebagian kutipan tulisan Gunawan.
Kenyataannya masyarakat Waerebo memang
jauh dari kekerasan. Melihat tata letak rumah-rumah mereka, jelas terlihat
mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan siapapun. Ini berbeda dengan
banyak desa tradisional lain di Indonesia yang tampak jelas mempunyai pola
pertahanan. Selain itu, masyarakat Waerebo juga tak mengenal senjata selain
alat-alat pertanian. Masyarakat Waerebo “mengasingkan diri” bukan utnuk
mneghindari musuh, melainkan untuk mendekatkan diri kea lam.
Masyarakat tanpa kekerasan di Waerebo
tercermin dari wajah-wajah ramah dan tak pernah curiga terhadap pendatang.
Bahakan tradisi adu cambuk bernama
caci yang mereka lakukan pun jauh dari kekerasan. Walau berhadap-hadapan dan
saling menyerang denagn cambuk rotan, kedua pihat yang berhadapan tak pernah
menampilkan ketegangan. Derai tawa selalu mengiringi adu cambuk yang kadang
diwarnai darah mengalir dari luka terkena cambuk itu. Adu cambuk caci semata
olahraga kompetisi yang melombakan ketangkasan gerak.
Dari segi budaya pula, Waerebo adalah
rekaman utuh adat budaya manggarai yang saat ini meliputi wilayah tiga
kabupaten : Manggarai, Manggarai Barat, dan manggarai Timur. Dahulu semua rumah
di daerah ini berbentuk kerucut seperti yang ada di Waerebo. Namun, secara
perlahan, rumah-rumah tradisional itu punah digantikan rumah “generik” seperti
yang kita jumpai dimana-mana di Indonesia: berbentuk persegi, berdinding papan,
dan beratap seng.
Di Waerebo setidaknya pada 2008, masih
terdapat empat rumah adat asli Manggarai. Kini, dengan kerjasama banyak pihak,
Waerebo memiliki kembali tujuh rumah adat seperti yang pernah diturunkan
leluhur Waerebo.
Proses menjadi lengkap tujuh
melibatkan banyak pihak di Indonesia yang merasa ikut memilikinya. Beberapa
pengusaha melupakan ambisi pribadi, bergotong-royong mengembalikan Waerebo ke
pentas aslinya.
Sumber : KOMPAS, Sabtu, 25 Juni 2011
Foto diambil dari www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar