Sabtu, 31 Maret 2012

Kampung Waerebo, Setelah Mendunia Lalu Menusantara






Oleh : Arbain Rambey

          Saat “ditemukan” oleh sekelompok arsitek Indonesia, Yori Antar dkk, agustus 2008, desa Waerebo bagai barang asing di negeri sendiri. Saat itu, mereka tertarik pada sebuah foto di internet yang menggambarkan sebuah desa dengan rumah berbentuk kerucut. Menakjubkan lagi, desa dalam foto itu berada di wilayah Indonesia, tepatnya di Pulau Flores.
          Namun, saat itu siapa kenal Waerebo yang terletak di kecamatan satar mese barat, manggarai, nusa tenggara timur, ini? Sampai tulisan ini diturunkan pun, banyak warga kecamatan satar mese barat yang belum tahu keberadaan waerebo.
          “Saat kami sudah tiba di pulau flores pun, semua yang kami tanyai tak ada yang tahu tentang Waerebo,” ujar Yori.
          Titik terang didapat kelompok arsitekyang senang pada rumah tradisional nusantara itu. Di sebuah warung makan, mereka melihat foto waerebo di dinding. Dari pemilik rumah makan, Yori dan kawan-kawan akhirnya bertemu dengan beberapa orang, seperti martinus anggo dan blasius monta (keduanya berasal dari waerebo), yang bisa membawa mereka menginjakkan kaki di waerebo.
          Apa kejutan setelah tiba di Waerebo? Dalam buku tamu yang ditunjukkan Blasius monta terlihat bahwa sejak 2002, Waerebo sudah rutin dikunjungi turis dan peneliti mancanegara. Dari total 480 orang yang tercatat mengunjungi Waerebo sampai 2009, hanya Sembilan orang dari Indonesia, yaitu Yori dan kawan-kawan. Lainnya datang dari perancis, Inggris, Belanda, Ceko, dan Negara-negara Eropa lain, Amerika Serikat, Taiwan, serta Jepang. Bisa dikatakan, Waerebo sudah mendunia sebelum dikenal orang Indonesia.
Terpencil
          Kalau Waerebo cukup terlupakan dip eta pariwisata dan budaya Indonesia, itu bisa dimaklumi sebab letak Waerebo sungguh terpencil dan sulit dicapai. Kalau anda akan mengunjungi Waerebo, hal pertama yang harus dilakukan adalah tiba terlebih dahulu di Labuan Bajo di ujung barat pulau flores. Dari denpasar, Bali, dalam sehari ada beberapa penerbangan langsung ke Labuan Bajo yang merupakan pintu masuk sebelum mengunjungi Pulau Komodo itu.
          Dari Labuan Bajo, anda masih harus naik kendaraan selama lima jam menuju Dintor di pantai yang menghadap ke pulau mules di selatan flores. Sekadar informasi, jalan dari Labuan Bajo ke Dintor adalah jalan aspal yang tak cukup untuk papas an dua mobil. Untunglah dalam perjalanan dua jam itu, mobil kami jarang bertemu mobil lain.
          Sampai di Dintor, anda bermalam untuk keesokan harinya naik kendaraan bermotor lagi selama sekitar satu jam menuju Denge. Dari denge, anda bisa mencapai Waerebo setelah berjalan kaki naik gunung selama sekitar empat jam.
          Pada zaman serba mudah saat ini, mencapai Waerebo begitu sulit. Saat orang kota kewalahan dengan kemacetan, perjalanan ke Waerebo bisa membuat kita seakan hidup di planet yang jarang penghuninya.
          Namun, mengapa Waerebo begitu menarik?
          Dari segi penampilan, Waerebo memang sangat “kartu pos”. terlatak di antara puncak-puncak gunung dengan pemandangan sangat indah, rumah-rumah di Waerebo begitu unik untuk melengkapi lanskap yang sudah luar biasa itu.
          Pertanyaan yang kemudian layak mengemuka, mengapa nenek moyang warga Waerebo memilih tempat tinggal begitu tinggi dan jauh dari desa sekitar? Walau umur pasti Waerebo tidak diketahui, diperkirakan tempat itu sudah dihuni selama ratusan tahun.
Kearifan Lokal
          Professor gunawan Tjahjono, Guru Besar Arsitektur dari UI, menulis tentang Waerebo di buku Pesan dari waerebo dengan kutipan yang kira-kira menekankan kedekatan pendiri Waerebo dengan alam yang akhirnya membawa mereka menuju kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari.
          “Pemahaman akan kebutuhan bersahabat dengan alam  itu bagi masyarakat perlu diturunkan kepada generasi berikutnya sejauh pengalaman cara berhubungannya pernah membuahkan hasil gemilang yang membahagiakan semua anggota,” demikian sebagian kutipan tulisan Gunawan.
          Kenyataannya masyarakat Waerebo memang jauh dari kekerasan. Melihat tata letak rumah-rumah mereka, jelas terlihat mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan siapapun. Ini berbeda dengan banyak desa tradisional lain di Indonesia yang tampak jelas mempunyai pola pertahanan. Selain itu, masyarakat Waerebo juga tak mengenal senjata selain alat-alat pertanian. Masyarakat Waerebo “mengasingkan diri” bukan utnuk mneghindari musuh, melainkan untuk mendekatkan diri kea lam.
          Masyarakat tanpa kekerasan di Waerebo tercermin dari wajah-wajah ramah dan tak pernah curiga terhadap pendatang.
          Bahakan tradisi adu cambuk bernama caci yang mereka lakukan pun jauh dari kekerasan. Walau berhadap-hadapan dan saling menyerang denagn cambuk rotan, kedua pihat yang berhadapan tak pernah menampilkan ketegangan. Derai tawa selalu mengiringi adu cambuk yang kadang diwarnai darah mengalir dari luka terkena cambuk itu. Adu cambuk caci semata olahraga kompetisi yang melombakan ketangkasan gerak.
          Dari segi budaya pula, Waerebo adalah rekaman utuh adat budaya manggarai yang saat ini meliputi wilayah tiga kabupaten : Manggarai, Manggarai Barat, dan manggarai Timur. Dahulu semua rumah di daerah ini berbentuk kerucut seperti yang ada di Waerebo. Namun, secara perlahan, rumah-rumah tradisional itu punah digantikan rumah “generik” seperti yang kita jumpai dimana-mana di Indonesia: berbentuk persegi, berdinding papan, dan beratap seng.
          Di Waerebo setidaknya pada 2008, masih terdapat empat rumah adat asli Manggarai. Kini, dengan kerjasama banyak pihak, Waerebo memiliki kembali tujuh rumah adat seperti yang pernah diturunkan leluhur Waerebo.
          Proses menjadi lengkap tujuh melibatkan banyak pihak di Indonesia yang merasa ikut memilikinya. Beberapa pengusaha melupakan ambisi pribadi, bergotong-royong mengembalikan Waerebo ke pentas aslinya.



Sumber : KOMPAS, Sabtu, 25 Juni 2011 


Foto diambil dari www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar