Rabu, 03 Agustus 2011

Antara Beth dan Koen

     Ini si Beth nama lengkapnya Bethina, oh bukan betina. Cara pelafalannya huruf ‘e’ dibaca seperti pada kata sate. Macam orang Batak bilang huruf ‘e.’ Tapi yang jelas dia memang kucing betina. Manis kan kucingku? Walaupun dia hanya seekor kucing kampung.

     Saat masih kecil, aku membawanya dari deket rumahnya Lik Warto. Dari seberang jalan depan rumah Likku. Waktu itu dia lagi meong2 manggil2 induknya. Ditinggal sama induknya di antara karung2 yang isinya entah apa, mungkin isinya padi. Dia sendirian deh, mungkin induknya lagi pindahan nyari tempat tinggal baru dan si Beth ini terlupakan oleh induknya. Karena tiba2 induknya amnesia (hehe). Kasihan...

     Langsung kucing kecil itu kutangkap dengan kedua tanganku dan kupegang erat2 biar ga lepas, dia masih semangat mengeong. Suara cemprengnya, dan tubuh mungilnya bergetar. Kemudian kubawa masuk ke rumah Pak Likku, terus akhirnya Desi sama Gowo (2 orang sepupuku) nganterin kucing itu ke rumahku naik motor. Itu udah adzan maghrib dan aku kebetulan ke tempat Likku naik sepeda ontel ibuku. Sepeda merek Phoenix warna hijau bikinan China. Perjalanannya ke rumah Likku sebentar mungkin ga sampe 5 menit jaraknya cuma satu kilometer. Aku ke rumah Pak Likku menjelang maghrib.

     Pas udah nyampe rumah aku ga tahu kucing kecil itu mesti kutaruh dimana, akhirnya kutaruh di kasurku saat tidur malem. Jadinya aku tidur sama anak kucing. Selimutin sekalian dah sama baju bekas biar ga kedinginan karena kamarku ini ventilasinya lebar banget. Kalau malem udaranya jadi sangat dingin, ventilasi ini letaknya di atas jendela lebar yang kira2 ukuran jendelanya 2,5 x 1,5 m. Aslinya kamarku tuh kamar keroyokan, bukan kamarku pribadi karena semua orang di keluargaku: ibu, embah, adik, Pak Lik (adik bungsu ibuku) biasa tidur di situ bergantian. Karena emang ga ada pintunya hanya disekat dengan lemari di sekelilingnya. Dan jalan masuk ke sana melalui “pintu” yang berupa tirai hijau. 

     Oke, lanjut ke cerita kucingku lagi. Waktu itu aku lagi bingung mikirin nama. Mau kukasih nama siapa anak kucing hasil mungut itu. Tapi sampe beberapa hari tidak jua kutemukan nama yang pas. Biarlah sambil jalan aja, nanti pasti bakal nemu nama juga. Sempet terpikir nama Qiyu dan aku sudah membiasakan memanggilnya dengan nama itu. Tapi setelah dipikir-pikir kayaknya nama itu kurang cocok buat kucing betina.
     
     Pas baru beberapa hari di rumahku, dia sangat suka main di depan jendela kaca rumah sebelah, rumah Lik Her. Kebetulan ada tawon yang terbang di dekatnya. Dikira mainan maka dengan asyiknya dia bikin mainan tuh tawonnya. Walhasil, disengatlah kaki kanan depan si Beth. Jadinya bengkak, gede banget. Bengkaknya kira2 dua kali ukuran kaki normalnya. Bayangkan, kucing sekecil itu menanggung rasa sakit yang mungkin tidak tertanggungkan gara2 sengatan tawon.
     
     Setelah kulihat kakinya, dia aku kasih madu di kaki yang bengkak itu. Asal aja sich sebenernya. Karena ga tau apa yang harus aku lakuin. Sebelum diolesi madu dia udah kuusap2 dengan kelopak bunga mawar pink yang saat itu lagi mekar2nya di halaman deket jemuran. Anehnya pada malam harinya, dengan kaki yang masih bengkak itu si Beth udah main tali rafia hitam. Tali rafia itu panjangnya kira2 20 senti, entah nemu dimana tuh tali rafia. Dia main di ruang tivi sambil kutemani, ngegemesin banget kelincahannya memainkan tali rafia. Aku menatapnya bingung kok bisa ya lagi bengkak gitu malah main, mana semangat banget. Mungkin itu cara dia mengatasi rasa sakit dengan melupakan rasa sakit. Pertahanan diri seekor kucing, pikirku.

     Beberapa hari kemudian kaki kucingku itu sembuh, seneng deh ngeliat dia sehat. Tadinya aku mikirnya dia akan mati gara2 tersengat tawon. Tapi ternyata daya tahan tubuh mungilnya kuat. Alhamdulillah, aku batal kehilangan kucing yang mulai kusayangi itu. 

     Pertama kali dateng kuberi makan susu cair, dan kucingku doyan. Oh iya, jadi inget kucing tetangga yang suka main ke rumah. Bulunya putih dominan dan ada campuran warna lain oranye, hitam, dan warna kelabu di beberapa bagian tubuhnya. Kucing itu seekor kucing betina, pada awalnya (hoho). Kami (aku, adikku, dan sepupu2ku) sempat memberinya nama “Koen,” sebuah kata dalam bahasa Jepang yang artinya taman. Kalau dalam bahasa Jawa (baca: kowen) kata itu artinya “selokan” hihi...jahil banget ya ngasih namanya asal. Ga tau deh dia dikasih nama siapa sama majikannya. Asli, kucing itu manis banget. Keren deh warna bulu dan struktur tubuhnya. Masuk kategori kucing ningrat piaraan orang2 kaya, hehe.

     Setiap hari si Koen dateng buat main bareng kucingku yang masih lebih kecil dibanding si Koen itu. Mungkin kucingku nganggap Koen adalah kakaknya. Kucingku dan Koen sama2 punya buntut panjang. Klop dah, untuk urusan sama2an buntut (hehe). Setiap kali dateng buat menemui kucingku Koen harus melalui perjuangan yang lumayan berat karena dia harus menyeberang jalan raya dengan resiko ketabrak kendaraan yang lewat. Benar2 pengorbanan yang sangat besar. Rumah majikan Koen adalah sebuah warung makan di samping SMP yang letaknya di seberang rumahku. Jadi, setiap kali main ke rumahku demi menemui kucingku Koen harus melalui jalur itu untuk sampai di seberang. Ga ada jalan lain selain jalur itu. Rutinitas itu dilakukannya sampe kucingku agak gedean dikit. Mungkin seumuran ABG ukuran kucing dan Koen udah sampe umur dewasa ukuran kucing juga.

     Penampilan Koen hampir selalu wangi karena Bu Yuli majikannya, sering memandikannya dengan shampo yang wanginya awet. Sepupuku jadi suka banget mengacak-acak bulu si Koen. Sampe suatu hari, terjadi perubahan pada fisik Koen, terdapat gumpalan (tonjolan daging tepatnya) di anatomi tubuh belakangnya. Apa itu? Ohh, ternyata eh ternyata dia berubah jadi “kucing jantan.” Sungguh ajaib karena selama ini kami mengira dia betina tulen. Terlalu rumit untuk dipahami, kok bisa ya? 

     Kalau dia manusia mungkin pengidap Klein Felter yang DNA-nya berubah jadi jenis kelamin kebalikannya. Kasihan Koen. Dilihat dari penampilannya yang feminin semua tahu kalau Koen itu seekor kucing betina. Beneran loh, salah satu keajaiban dalam dunia kucing terjadi di depanku. Makanya aku ga nyangka dengan perubahannya itu. Mungkin Allah sedang menunjukkan Kemahakuasaan-Nya dalam penciptaan makhluk-Nya dan kami dipilih untuk menyaksikan semua itu melalui peristiwa yang terhampar di hadapan kami.

     Bahwa Allah Maha Berkehendak, apapun yang Dia kehendaki terjadi maka terjadilah. Aku jadi tercenung merasa sangat nano, hanya setitik debu di belantara jagad raya ini. Ya Alloh, betapa Maha Besarnya Kekuasaan-Mu…

     Akibat kejadian itu, maka sepupu2ku sering manggil kucingku Beth yang nama panjangnya jadi “Bethina” (cara ngucapinnya pinjem lidah orang Batak dulu ya, hehe). Mungkin buat ngebedain sama Koen bahwa kucingku itu betul2 betina beneran. Nama yang aneh, gokil. Tidak terduga bakal dikasih nama kayak gitu. Aku sayang banget sama kucingku yang akhirnya punya nama Bethina.

     Beberapa bulan Beth di rumahku badannya udah tumbuh jadi lebih gede, aku punya kebiasaan aneh dalam memperlakukannya. Apa itu? Ya, aku suka banget adu jidat sama Beth. Caranya jidatku dan Beth dijedukkan, ga tau kepala Beth sakit atau ga. Tapi aku sering adu jidat model begitu. Nah itulah yang bikin aku ga habis pikir, ga ada angin ga ada hujan. Pagi2 saat aku masih tidur Beth berdiri di atas tubuhku dengan keempat kaki menapak di area sekitar dada sampe perut (aku tidur telentang waktu itu, biasanya ga). Dan dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tanpa tahu apa2 kurasakan basah2 di bibirku. Oh ternyata Beth berhasil mengendus-endus bibirku dan menempelkannya sekalian hidungnya yang basah itu di bibirku. Huek, Beth jorok. Kontan aku bangun sambil misuh2. 

     Berdasarkan laporan dari saudaraku Beth memperlakukan orang yang lagi tidur kayak gitu juga ke siapapun di rumah: adikku, sepupu2ku, termasuk aku juga. Aneh. Adu jidat yang berakhir mengenaskan. Ga apa2 sich sebenernya, tapi ya itu Beth kan kucing (bukan suamiku, hehe) dan aku takut ada toksoplasma di bagian hidung dan mulutnya yang basah itu dan nular ke aku. Hiii

     Aku tidak bisa terus bersama Beth di rumah, aku harus lanjut kuliah di Solo. Maka kutinggalkan Beth diurus adikku dan sepupu2ku yang semuanya suka kucing. Beberapa bulan kemudian Beth bunting, aku masih semester matrikulasi di jurusan Manajemen. Semester percobaan untuk bisa lanjut ke semester berikutnya dengan syarat nilainya harus bagus dan ga ada nilai D. Kalau ternyata ada D di transkrip berarti DO dan tidak bisa melanjutkan studi di prodi Manajemen. Oke, kembali ke kisah Beth lagi. Dari kabar dan telfon2an dengan adikku dan sepupu2ku Beth ternyata kawinnya ga sama Koen tapi ga tau sama pejantan yang mana. Duh, kukira bakal jadian sama Koen karena dari kecil kan Beth udah main bareng tiap hari sama Koen. Tapi ya begitulah pilihan Beth, aku jadi mikir dan bertanya-tanya apa kucing juga punya pilihan hidup ya? Maksudnya kebebasan dalam menentukan “jodohnya” Hhhh

     Memang ga ada hubungan apa2 antara si Beth dan si Koen. Hanya sebatas pertemanan antar kucing. Karena mereka ga jadi pasangan dan punya anak. Setelah Beth kawin sama kucing lain, si Koen udah ga pernah muncul nemuin Beth. Mungkin dia patah hati ditinggal kawin sama Beth.
                                                                                   ***

Beth Junior



     Kalau ini salah satu anggota BJ (Beth Junior), anak Beth. Satu2nya anak Beth yang berjenis kelamin betina. Kembarannya yang lain jantan semua. Aku belum sempet ngasih nama sama cucu2ku (hmm). Tua banget sich aku tiba2 jadi mbah anaknya Beth. Umurnya baru 1 bulan pas kufoto, kupingnya udah berdiri (daun telinganya) kalau umurnya kurang dari sebulan biasanya kupingnya masih kuncup. Beth ngelahirin 4 ekor anak kucing. 3 ekor mirip2 Beth bulunya dan yang 1 ekor lagi warnanya item-putih. Kayaknya Beth selingkuh deh, heh kok aku punya kucing ga setia sama pasangan? Pertanda apakah ini???… 

     Begitu tahu ada 1 anaknya yang beda bulunya, Beth membawa tuh anaknya pergi entah kemana dan pulang2 Beth malah celingukan. Seperti sedang mencari sesuatu. Mungkin dia lupa naruh dimana anaknya yang bulunya item-putih itu. Sampai berhari-hari anak Beth yang item-putih itu ga kelihatan juga, mungkin Beth bener2 membuangnya. Kejam juga ternyata si Beth.

     Saat menyusui anak bagi Beth telah mengubah segalanya (aih..) dari Beth yang sebelumnya suka banget bersih2, sampe berjam-jam kalau lagi ngebersihin bulunya. Begitu udah ngelahirin penampilannya jadi keliatan sangat lepek bulu2nya. Pokoknya bukan seperti Beth yang biasanya. Bulunya jadi lengket2 ke kulitnya dan Beth keliatan tambah kurus. Pengorbanan jadi seekor ibu kucing, ya begitulah hidup…hehe

     Kira2 umur anak2 Beth masih 1 bulan lebih ketika tragedi itu terjadi (jadi sedih:( ..). Suatu ketika Beth membawa seekor tikus yang ditemukannya di rumah atau di kebun tetangga. Tikus yang udah mati, bukan yang masih seger hasil nangkep sendiri. Maka dibawalah tuh bangkai tikus ke rumah. Niatnya mungkin mau buat ngasih makan anak2nya. Tapi, beberapa saat setelah mereka berpesta menggigit-gigit tikus itu semuanya terserang penyakit aneh. Gejala awalnya lemes2, ini kuketahui dari laporan adikku dan sepupu2ku. Untuk beberapa hari mereka masih lemes2 dan muntah2. 

     Rupanya semua kucingku (Beth dan anaknya) keracunan. Gara2 tikus itu ternyata emang tikus yang mati diracun. Dan semua kucing di rumah selain Beth dan anak2nya juga keracunan. Ada si Engh (kucingnya adikku) dan si Sruntul (kucingnya Indah, sepupuku) semuanya tewas mengenaskan. Tragis banget akhir hidup semua kucingku itu. Beth malah ga ditemukan bangkainya entah mati dimana. Jadi, adikku dan sepupuku yang di rumah karena aku kuliah di Solo ga bisa nguburin jasad Beth. Total kucing yang mati di rumah ada 6 ekor. Beth dan 3 anaknya, si Engh, dan si Sruntul.

     Sampe sekarang kalau aku kangen sama Beth, tanpa sadar aku memanggil namanya. Seperti refleks, spontan, dan ga tau kenapa aku masih juga manggil Beth. Kadang2.
                                                                                  ***

“Untuk Beth : maafin aku ya kalau mungkin aku pernah mendzalimimu (pasti pernah). Sekarang kau di alam sana ga akan pernah kelaparan dan kehausan lagi. Ga seperti ketika kau bersamaku di sini. Terima kasih atas semua keceriaan yang telah kau bagi bersamaku. Kau seekor kucing betina yang manis. Mungkinkah kita bertemu lagi, Beth? Akankah Alloh mempertemukan kita lagi di sana??”

Pagi yang segar di Samuri, Ngoresan
2 Ramadhan 1432 H / 2 Agustus 2011 M, 06:32 WIB

NB : Setrilyun terima kasih buat adikku dan sepupu2ku yang udah ngerawat Beth ketika aku tidak bisa merawatnya karena terpaut jarak.


Si Srunthul
Si Engh
                                                                                               

Selasa, 02 Agustus 2011

Mengapa Menulis?




  1. Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai kurniaNya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data.
  2. Tapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak.
  3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab.
  4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi'i; ilmu adalah binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.
  5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu dan dikaruniai pengertian; adakah kemajuan?
  6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan.
  7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan.
  8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan dan penilaian.
  9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan.
  10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan.
  11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam.
  12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak.
  13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi
  14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan.
  15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran..
  16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, dan Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya?
  17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat 'jariyah'; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan.
  18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai.
  19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba.
  20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, "Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?"
  21. Moga kelak dijawabNya, "Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan."
  22. Tulisan sahih dan mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan.
  23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi "Baca!"
  24. Tersebut di HR Ahmad dan ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, "Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman...
  25. .."Tulislah!" Tanya Pena; "Apa yang kutulis, Rabbi?" Kata Allah; "Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu."
  26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam dan membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31)
  27. Dan "Baca!"; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca, Sebab...
  28. ..menulis -kata mereka- ialah alat bantu bagi yang hafalannya di bawah rata-rata, tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta.
  29. Muhammad hadir bukan dengan mu'jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut 'Bacaan'.
  30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi.
  31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia dan mengubah dunia.
  32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, dan tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan?
  33. Tiga Kekuatan Menulis 
  34. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, dan Daya Memahamkan.
  35. Daya Ketuk
  36. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan.
  37. Pertama, marilah jawab ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa ia harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?
  38. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis.
  39. Alasan kuat tentang diri, tema, dan akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan.
  40. Keterlibatan hati dan jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan.
  41. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah dan semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca.
  42. Menulis memerlukan kata yang agung dan berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap dan takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala.
  43. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran dan darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci...
  44. ...dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat dan bertaqwa (QS 16:66).
  45. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada goda kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya' dan sum'ah.
  46. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan dan perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci.
  47. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran dan darah, racun dan limbah; lalu disajikan pada pembaca.
  48. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu dan ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis dan berbagi.
  49. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, dan muntah bahkan saat baru mengamati awalnya.
  50. ...Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya.
  51. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati.
  52. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu' dan shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata..
  53. ...Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa..
  54. ...lalu menulis itu sekedar satu dari berbagai pancaran cahaya
  55. yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka.
  56. Daya Isi
  57. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa.
  58. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf dan tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru.
  59. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; "Fakidusy Syai', Laa Yu'thi: yang tak punya, takkan bisa memberi."
  60. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu dan berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti.
  61. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; dan membawakan makna ke alam tinggalnya.
  62. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal dan hati.
  63. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi.
  64. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang dan kedalaman tafsir.
  65. Dengan proses internalisasi; semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi.
  66. Sebab konon 'tak ada yang baru di bawah matahari'; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali.
  67. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali.
  68. Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi.
  69. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak.
  70. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih dan tertentu.
  71. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan sisi insaniyah.
  72. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari.
  73. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing-masing pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu.
  74. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.
  75. Daya Memahamkan
  76. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan satu pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia.
  77. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandingkan dirinya sendiri.
  78. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: "Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu."
  79. Setiap tulisan dan buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis "Aku tahu! Kamu tak tahu!" pasti berat dan membuat penat saat dibaca.
  80. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu.
  81. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari "Aku tahu! Kamu tak tahu!" menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, dan rendah hati.
  82. Penulis sejati ukirkan semboyan, "Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu."
  83. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cumaberbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi.
  84. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya.
  85. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu.
  86. Inilah yang jadikan tulisan akrab dan lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, dan rendah hati.
  87. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami.
  88. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai dan tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet dan jemari terhenti.
  89. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual.
  90. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan.
  91. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat..
  92. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli..
  93. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal.
  94. Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka.
  95. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja.
  96. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambah data.
  97. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini.
  98. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata.
  99. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan..
  100. ..dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama nan mengamalkan tulisan, dan berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, penuh cinta.
  101. Kali ini, tercukup sekian ya Shalih(in+at) bincang #Write. Maafkan tak melangkah ke hal teknis, sebab banyak nan lebih ahli tentangnya:)
  102. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal dan mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia.
  103. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, 'amal shalih, dan saling menasehati.
  104. Jika ada 'amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh ragu: tinggalkan menulis menujunya.

Dari : Kultwit Salim A Fillah