Selasa, 28 November 2017

Mengkritik Kesalahan Anak, Bagaimana Caranya?

Setiap anak seharusnya merasakan bahwa dirinya adalah pribadi yang penting. Dan satu-satunya cara terbaik yang ditempuh orang tua untuk menanamkan perasaan itu dalam diri anak adalah dengan memperlakukannya dengan baik, selalu menerima kondisinya, apapun itu, serta mencintainya sepenuh hati dalam bentuk “tutup mata” atas kekeliruan si anak. Sikap “tutup mata” ini bukan berarti orang tua membiarkan kekeliruan anak begitu saja. Semua sikap ti boleh ditunjukkan dengan berkata, “Ayah/Ibu menyayangimu, tapi tindakanmu itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Ayah/Ibu.”

Contohnya jika anak Anda tidak mampu mencapai prestasi yang luar biasa di sekolahnya, janganlah Anda memarahinya, tetapikatakanlah kepadanya: “Tenanglah, Nak. Masih ada kesempatan lain untuk meningkatkan prestasimu. Yang kau perlukan sekarang hanyalah kesungguhan. Ayah/Ibu percaya Engkau pasti dapat mencapai prestasi yang lebih baik lagi nanti.”

Demikianlah pula seyogianya ucapan Anda ketika anak Anda melakukan kesalahan. Berbicaralah kepadanya sebagai seorang sahabat yang penuh cinta dan kasih sayang.
Misi terpenting yang hendak ditransfer orang tua dan pendidik kepada anak adalah “cinta tanpa syarat”, yaitu cinta yang mengejawantah dalam sikap mau menerima segala kelebihan dan kekurangan anak.

Ketika kita mencintai seseorang maka hal itu tidak otomatis membuat kita menyukai perbuatan dan tingkah polahnya. Itulah sebabnya kita harus berusaha memisahkan antara perbuatan dan pelakunya, sebagaimana halnya kita juga harus mampu memisahkan antara ucapan dan pengucapnya.
Jadi, ketika anak Anda melakukan sebuah perbuatan buruk, adalah wajar jika Anda tidak suka dengan terhadap perbuatan tersebut. Hal seperti itu sangat mungkin disikapi tanpa amarah dan tetap tenang, kendati itu bukanlah perkara mudah, sehingga membutuhkan latihan dan kesabaran.

    Berusaha selalu memisahkan antara perbuatan dan pelakunya...

Janganlah Anda berkata kepada anak Anda: ”Mengapa engkau sebodoh itu?!”
Tapi katakanlah kepadanya: ”Nak, sebaiknya engkau belajar lebih sungguh-sungguh mulai sekarang.”
Bahkan Allah berfirman kepada Rasulullah berkenaan dengan keluarga beliau: Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian lakukan.” (QS. Asy Syu’ara’: 216)

Allah menyatakan agar Rasulullah berkata “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap kalian”, demi menjaga hak hubungan kekerabatan dan hubungan darah. Abu Darda’ Radhiyallahu Anhu pun bertanya kepada Rasulullah SAW, “Mengapa Engkau tidak marah terhadap saudaramu yang telah melakukan (kesalahan) itu?” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya yang kumurkai adalah perbuatannya, sebab ia adalah saudaraku. Persaudaraan karena agama jauh lebih kuat dibandingkan persaudaraan karena hubungan kekerabatan.”

Tidak dapat dipungkiri, ada orang tua yang menganggap lumrah tindakan mengancam anak sambil membawa-bawa urusan cinta dan kasih sayang. Misalnya, sang ayah/ibu berkata, “Jadilah anak yang sopan; kalau tidak, ayah/ibu tidak akan menyayangimu lagi.” Atau denganberkata, “Ayah/Ibu sama sekali tidak menyukai anak yang tidak menuruti perintah Ayah/Ibu.”

Alih-alih diperbolehkan, ancaman semacam itu harus dihilangkan dari kamus orang tua. Sebab, semestinya anak mengerti bahwa ayah/ibunya akan selalu mencintainya dalam keadaan apapun juga. Di samping itu, anak juga semestinya menyadari bahwa orang tuanya pasti merasa bangga jika dia berhasil menduduki peringkat pertama di sekolah. Tetapi, di atas itu semua, cinta orang tua kepada anaknya tidak boleh hilang sedikit pun kendati si anak – misalnya tidak dapat tertib.

Bahkan ketika orang tua mengkritik perilaku anaknya, ia harus membatasi kritikannya itu hanya pada masalah perilaku si anak, dengan tujuan menghilangkan perilaku negatifnya.
Mari kita ambil contoh...
Seorang bocah bernama Romy yang berusia 10 tahun, tanpa sengaja menumpahkan segelas susu di atas meja makan ketika sarapan sedang berlangsung.
Ibunya berkata sengit, “Eh, engkau bukan anak kecil lagi yang tidak bisa memegang gelas! Berapa kali sudah Ibu bilang agar engkau berhati-hati!
Dan ayahnya menimpali, “Anak ini memang tolol! Ia selalu saja berbuat seperti ini; sampai kapan pun ia akan tetap seperti ini!”

Renungkanlah, kawanku, si bocah yang bernama Romy itu telah menumpahkan segelas susu yang harganya sebenarnya nyaris tidak berarti. Akan tetapi, semua caci-maki dan penghinaan yang harus didengarnya berakibat begitu berat dan bisa menghilangkan kepercayaannya pada orang tua.
Nasihat saya berkenaan masalah seperti ini adalah:
Ketika sebuah kesalahan terjadi, ketahuilah bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menuding kualitas pribadi si pelaku kesalahan. Yang lebih baik untuk dilakukan pada saat kejadian adalah membereskan masalah yang muncul, bukan “membereskan” si pelaku.
Jadi, tindakan yang benar dalam kasus Romy tadi adalah sebagai berikut:
Sang ibu seharusnya berkata, “Susu itu sudah tumpah ke atas meja. Tak apalah, nak. Ini Ibu ambilkan lap. Ayo kita bersihkan meja makan ini.”
Romy lalu membersihkan meja makan, dibantu ibunya. Itulah yang seharusnya dilakukan orang tua. Tak ada secuil pun kata-kata menyakitkan yang terlontar ke arah si anak.
 
Demikianlah seharusnya sebuah kritik hanya mengarah kepada perilaku anak, bukan terhadap pribadinya. Tindakan ini perlu dilakukan karena akan membuat anak berani berusaha mengubah perilakunya yang keliru sekaligus menjaga kepribadian dan harga dirinya.
 
Sebuah contoh lain...
Ketika tengah menghadapi seorang murid yang tidak megerjakan PR, seorang guru berkata, “Sepanjang pengetahuan saya, selama ini engkau tidak pernah melalaikan pekerjaan rumahmu, Rasyid.”
Dengan berkata seperti itu, sebenarnya sang guru telah membantusi Rasyid untuk tetap percaya diri. Karena, dengan ucapan itu sang guru telah berhasil menunjukkan kesalahan yang dilakukan Rasyid tanpa melukai harga diri dan kepribadian muridnya itu.
Coba sekarang bayangkan betapa tidak perlunya kita menggunakan kata-kata menyakitkan seperti: “Eh, Rasyid! Engkau memang anak yang tidak berguna! Dan, engkau pasti tidak akan pernah jadi orang berguna sampai kapan pun juga!”

Sebenarnya, apalah susahnya jika kita mengangkat moral dan semangat anak kita serta membangkitkan tekadnya agar ia mampu memikul tanggung jawab atas perbuatannya? Apalah susahnya jika kita berkata kepada anak kita: “Ayah/Ibu benar-benar yakin engkau pasti mampu menjaga kebersihan pakaianmu asalkan engkau memang mau bersungguh-sungguh memperhatikan kebersihan.”?
Apalah susahnya jika kita mencoba menanamkan dalam diri anak-anak kita kemampuan melakukan tugas mereka sambil berusaha menyingkirkan kebiasaan mengandalkan orang lain dari kehidupan mereka. Seiring dengan itu, yang penting pula untuk kita lakukan adalah berupaya menumbuhkan potensi anak serta membantu mereka memperbaiki semua kesalahan mereka. Tujuan dari semua tindakan tersebut adalah agar anak dapat bertumbuh kembang, baik jiwanya maupun perilakunya.

Mari kita ambil sebuah contoh
Salah : “Maryam, engkau adalah nak pemalas!”
Benar: “Maryam, engkau sedikit bermasalah dengan semangatmu.”
Salah: “Engkau memang anak bodoh, Ahmad!”
Benar: “Ahmad, sebaiknya engkau lebih memperhatikan pelajaranmu dan berusaha memperbaiki prestasi belajarmu.”

Jika anak Anda memecahkan sesuatu di rumah, maka orang tua harus berusaha menjaga stabilitas emosinya agar tidak kehilangan kontrol atas dirinya, dan tetap menyayangi anaknya tanpa menunjukkan sikap buruk terhadap si anak. Jika orang tua telah berhasil melakukan semua itu maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah menasihati si anak dengan berkata, “Ayah/Ibu benar-benar yakin engkau dapat menjaga semua perabotan yang ada di dalam rumah ini dengan baik.”
Demikianlah seharusnya yang Anda lakukan, kawanku sesama pendidik, dalam menghadapi perilaku buruk anak.

Sebuah contoh lain...
Jika misalnya pada suatu ketika Anda meminta anak Anda membeli sesuatu, dan ternyata ia salah menghitung uang kembalian atau merusak barang yang ia beli, jangan sekali-kali Anda katakan kepadanya: “Duh, seandainya saja Ayah/Ibu tidak memintamu membeli barang itu!” Atau: “Betapa bodohnya Ayah/Ibu karena mempercayaimu membelikan barang itu.” Atau: “Dimana kau taruh otakmu?!” Atau berbagai kalimat buruk lainnya yang hanya berdampak buruk bagi perkembangan jiwa anak Anda.
 
Demikian pula halnya jika Anda memerintahkan anak Anda untuk melakukan sesuatu di dapur, dan ternyata ia tidak dapat menyelesaikan perintah Anda itu dengan baik, seperti misalnya ia gagal memotong tomat dengan baik, tidak dapat menyiangi sayuran dengan sempurna, atau tidak dapat mencuci piring ssampai bersih; jangan sekali-kali Anda katakan kepadanya: “Sudahlah, pergi saja sana! Engkau ternyata masih kecil. Tampaknya pekerjaan ini lebih baik Ayah/Ibu kerjakan sendiri.”

Jangan lakukan hal seperti itu, tetapi jelaskanlah kepada anak Anda tentang kesalahannya dengan tenang, lalu mintalah anak Anda mengulangi tugasnya untuk memperbaikinya, jika memang hal itu memungkinkan. berilah pemahaman kepadanya bahwa setiap orang terkadang salah ketika mulai belajar melakukan sesuatu hal, sehingga kesalahan sama sekali bukan sebuah kelemahan ataupun kegagalan.

Jika Anda melihat anak melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai, atau sesuatu yang tidak bisa diterima, cobalah memberi pemahaman kepadanya bahwa aib yang kan menimpanya akibat hal itu bukan tertuju pada dirinya seorang manusia, tetapi tertuju kepada perilaku atau tindakannya yang kelirru.
Katakanlah kepadanya: “Engkau telah melakukan hal yang tidak baik.”
Jangan katakan: “Engkau memang anak yang tidak baik.”
Katakanlah kepadanya: “Perbuatanmu kepada adikmu itu benar-benar tidak manis.”
Jangan katakan: “Engkau memang anak yang nakal.”
Jangan pernah katakan kepada anak Anda ia adalah “sampah”, tetapi katakan kepadanya bahwa kesalahan yang dilakukannya itu bagaikan “meludah di atas lantai” atau “membuang sampah sembarangan”. Alasannya adalah karena perbuatan seperti itu dianggap buruk oleh semua orang. Jadi, sudah seharusnya kita menunjukkan keburukan sebuah perilaku atau tindakan dengan jelas dan benar. Jangan sampai anak Anda menduga-duga sendiri atas kesalahan yang dilakukannya, tetapi tidak jelas baginya.

Tetapi seiring dengan semua bentuk teguran atau kritik terhadap anak itu, Anda harus tetap melakukannya dengan penuh kelembutan. Bahkan, dulu setiap kali Rasulullah ingin menegur seseorang, beliau selalu menggunakan kalimat “Apakah sebenarnya yang diinginkan orang-orang yang mengangkat pandangan mereka sewaktu shalat itu?”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Apa sebenarnya yang diinginkan orang-orang yang mengangkat pandangan mereka sewaktu shalat itu?”

Jadi, teguran terhadap kesalahan yang dilakukan anak harus dilakukan dengan penuh kasih sayang. Menutupi kesalahan anak dan tidak menyebarluaskannya kepada orang banyak adalah salah satu bentuk teguran terhadap si anak. Karena menutupi kesalahan adalah tindakan positif yang dimaksudkan sebagai bentuk perbaikan, koreksi, dengan menjaga kehormatan dan harga diri si anak.
Penghormatan terhadap eksistensi anak dan perlindungan terhadap harga dirinya akan membuatnya selalu berusaha membangun jembatan kepercayaan dan kasih sayang antara dirinya dan siapa saja yang mengkritik perbuatan dan perilakunya.

Setiap kalimat yang lembut dan sopan pasti memberi efek signifikan terhadap upaya melindungi harga diri seseorang, terlebih jika kritik atau teguran yang disampaikan tepat sasaran pada perilaku salah, bukan tertuju pada pribadi orang yang bersangkutan. Inilah yang amat penting untuk kita perhatikan dalam usaha memperbaiki perbuatan dan perilaku anak, yang akan membuat usaha kita berhasil.
Kritik atau teguran yang tertuju pada pribadi anak, bukan kepada perbuatannya, merupakan tindakan yang berbahaya. Karena, teguran seperti itu hanya membelenggu kreatifitas dan keunggulan mereka dalam berkarya. Bukan hanya itu, terkadang tindakan seperti itu dapat menghancurkan sendi-sendi budi pekerti dan nilai-nilai luhur mereka!

Mari kita ambil dua kalimat ini sebagai contoh...
“Ayah/Ibu sangat membencimu!”
“Ayah/Ibu tidak suka perbuatanmu itu!”
Manakah di antara kedua ucapan itu yang lebih baik?
Itulah metode yang dulu dipakai oleh para Nabi ketika menyampaikan dakwah kepada umat mereka masing-masing. Luth ‘Alaihissalam berkata, “Sesungguhnya aku sangat membenci perbuatan kalian.” (QS. Asy-Syu’ara : 168)

Lihatlah betapa kebencian Luth ‘Alaihissalam tertuju pada perbuatan kaumnya yang bejat, bukan kepada mereka sebagai manusia.
Itulah pula sebabnya ketika pada suatu saat seorang pemabuk dijatuhi hukuman oleh Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa salam dan beberapa orang menghujat si pemabuk itu dengan berkata, “semoga Allah mencelakaimu!”, Rasulullah langsung menukas, “Jangan berkata seperti itu. Jangan bantu setan dalam menyesatkannya.” (HR. Al Bukhari no.6777)

Demikianlah pula yang dilakukan para sahabat Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa salam ketika mereka menghadapi seseorang yang berbuat salah.
Pada suatu ketika lewatlah Adu Darda’ di dekat seorang pelaku kesalahan dan terdengar beberapa orang mencaci orang tersebut. Demi melihat kejadian itu, Abu Darda’ bertanya kepada orang-orang yang sedang menghujat orang tersebut, “Apakah jika kalian melihat orang ini sedang terperosok ke dalam lubang, kalian akan mengeluarkannya dari lubang itu?”
“Tentu saja,” jawab orang-orang tersebut.
“Kalau begitu,” lanjut Abu Darda’, “Jangan caci saudara kalian ini. Pujilah Allah yang telah mengampuni kalian!”
Orang-orang itu lalu bertanya kepada Abu Darda’, “Mengapa engkau tidak membenci orang ini?”
Abu Darda’ pun menjawab, “Yang kubenci adalah perbuatannya. Seandainya ia berhenti melakukan perbuatan itu, ia adalah saudaraku.”

Kawanku para ayah, para ibu, dan para pendidik sekalian...
Cintailah anak-anak Anda dengan cinta yang nyata; tunjukkan kesalahan mereka dengan lembut dan santun; bersabarlah dalam menghadapi kelakuan mereka; bersikaplah sesekali seakan-akan Anda mengabaikan kesalahan mereka; jadikanlah diri Anda sebagai teladan bagi mereka; tanamkan perilaku yang baik dalam jiwa mereka. Tetapi, gunakan cara dan metode yang tepat. Gunakan bahasa cinta dan kasih sayang.
Ketahuilah, jika memang kita tidak ingin rasa cinta antara kita dan anak-anak kita sirna, yang kita butuhkan adalah memahami perasaan mereka. Cintailah mereka walau bagaimana pun keadaan mereka. Dampingilah mereka untuk memberi kekuatan kepada mereka. Arahkan perilaku mereka ke arah yang benar tanpa merendahkan harga diri mereka. Dampingi mereka untuk memberi kekuatan kepada mereka. Terimalah kekurangan anak-anak kita apa adanya. Terimalah perbuatan terbaik yang mereka lakukan, dan maafkanlah kesalahan-kesalahan mereka. Jadilah orang tua yang baik dan lakukan segalanya dengan cinta.

Kutipan halaman 146 – 155 

SENTUHAN JIWA UNTUK ANAK KITA
Sentuhan Jiwa untuk Anak Kita
Oleh : Dr. Muhammad Muhammad Badri
Penerbit : Daun Publishing
Jumlah halaman : 896 halaman