Sabtu, 29 Oktober 2011

APAKAH ADVERSITY QUOTIENT ITU?




Perjalanan hidup orang sukses dan orang gagal sama, yakni: menghadapi dan mengalami berbagai kesulitan hidup, adapun perbedaannya terletak pada kecerdasan menghadapi dan merespons kesulitan hidup yang dijalaninya. Artinya orang sukses lebih cerdas dari pada orang gagal dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paul G Stolt dalam dua bukunya berjudul; "Adversity Quotient (2000)" dan "Adversity Quotient a Work (2003)" secara komprehensif menjelaskan apa yang dimaksud kecerdasan menghadapi kesulitan dan bagaimana meningkatkan kecerdasan baru tersebut. Kecerdasan baru dimaksud berawal dari hasil penelitian yang dilakukan para ilmuwan kelas atas selama 19 tahun, mengkaji lebih dari 500 referensi dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yakni psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi, dan menerapkan hasil penelitian dan pengkajiannya selama 10 tahun di seluruh dunia dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa terdapat satu kecerdasan baru yang selama ini tidak terungkap dibutuhkan dan menentukan kesuksesan seseorang, yakni kecerdasan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient).

Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul; "The Millionaire Mind" menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri mempunyai tiga bentuk, yakni; (1) suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan; dan (3) serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.

Ketika menghadapi kesulitan hidup, manusia dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni; Quitters atau manusia yang berhenti, Campers atau manusia yang berkemah, dan Climbers atau manusia yang pendaki. Manusia quitter adalah manusia yang sulit dan tidak senang melakukan perubahan, sering orang menyebutnya sebagai manusia pengecut. Manusia camper adalah manusia yang mau melakukan perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan saja dengan sangat mudah patah semangat dan berhenti layaknya orang yang sedang berkemah, bahkan mereka menikmati jeda waktu istirahat tersebut untuk bersuka-ria, bersantai dan tidak berupaya untuk mengatasi kesulitan yang sedang mereka hadapi. Manusia climber adalah manusia pendaki yang tidak mudah lekang karena panas dan tidak mudah lapuk karena hujan. Sebagai manusia pendaki jika ia menemukan ada hambatan batu di atas gunung sana, ia mencari jalan lain. Baginya untuk sampai ke puncak gunung tidak hanya ada satu jalan. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell bahwa; "kalau satu pintu tertutup, lainnya terbuka, tetapi kita sering memandang terlalu lama dan terlalu penuh penyesalan kepada pintu yang tertutup itu, sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka bagi kita".

John Gray (2001) mengatakan "semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh". Adapun dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?

Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen (2000) mengatakan bahwa; "90% pemahaman belajar diperoleh dari melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam menyatakan, bahwa; "yang saya dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat, dan yang saya kerjakan saya paham." Namun sayangnya praktek pendidikan dan pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat belum sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada anak dan siswanya bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).

Masih sering kita temukan pola asuh, pendidikan oleh orang tua terhadap anaknya dilaksanakan dengan cara memanjakannya. Kita lupa bahwa pola asuh dan pendidikan dengan memanjakan anak (spoiling) adalah merusak atau membuat ia tidak berdaya, Martin Seligman menyebutnya sebagai proses ketidakberdayaan atau pembodohan yang dipelajari. Akibatnya masih banyak anak kita yang sudah dewasa dan bahkan sudah sarjana ketika dihadapkan pada masalah yang menurut kita sangat sederhana tidak mampu mereka atasi dan masih meminta bantuan orang lain terutama pada kedua orang tuanya.

Menutup opini ini penulis ingin menceritakan apa yang pernah penulis dengar dari salah seorang dosen penulis ketika studi doctor beberapa waktu yang lalu, beliau adalah bapak Prof. Dr. Marsetio Donosaputro. Ketika beliau menempuh pendidikan doktor di Amerika Serikat ia sempat tinggal serumah dengan promotornya, yakni seorang profesor ternama karena kemampuan akademiknya dan kekayaan yang dimilikinya. Selama sebulan dosen penulis amati kehidupan di rumah sang profesor, ada satu hal yang sangat mengesankan tetapi malu untuk menanyakannya karena merasa penghuni baru di rumah guru besar yang sangat terkenal itu. Namun setelah sebulan tinggal bersamanya keinginan untuk mengetahui apa yang terasa aneh tak dapat dibendung lagi. Dosen sayapun bertanya; "Prof, bolehkah saya bertanya, mengapa setiap sarapan pagi saya tidak melihat anak-anak (usia SD) profesor ikut menikmati hidangan pagi bersama kita, berbeda sekali ketika siang, petang dan malam hari, dan kemana mereka di setiap pagi? Profesor dengan bangga menjawab; "semua anak saya setiap paginya mencari tambahan biaya liburan atau vakansi. Dalam fikiran saya waktu itu, orang sehebat profesor di negara maju merasa bangga melihat anak-anaknya belajar mengatasi sulitan hidupnya dari sejak kecil. Apakah anak kita sebelum dan setelah sekolah ikut membantu dirinya guna mengurangi beban orang tuanya atau hanya pandai meminta dan menuntut haknya saja?

*) Penulis adalah DR.Aswandi, dosen FKIP UNTAN dan Direktur Educational Advocacy Center, E-Mail:aswandi@yahoo.com)

 

ADVERSITY QUOTIENT

 

Lord Layard mengatakan bahwa rumus bahagia adalah bersosialisasi, membuat koneksi, bergerak secara aktif, terus belajar dan biasakan memberi sesuatu untuk orang lain.

Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup semua orang. Aristoteles bahkan menempatkannya sebagai tujuan utama dari keseluruhan sistem etika filsafatnya. Ia menyebutnya “Eudaimonia”. Kata ini berarti kebahagiaan dalam bahasa Yunani, dimana filsuf itu mendefinisikannya “sesuatu yang paling baik, paling mulia, dan paling menyenangkan di dunia.”
Semua orang pasti ingin merasa bahagia. Akan tetapi, banyak yang tidak menyadari bahwa kemampuan meraih kebahagiaan sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal ini terkait dengan kekuatan kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam merespon dan bertahan menghadapi hidup. Dalam istilah psikologi, Dr. Paul Stoltz menciptakan istilah “Adversity Quotient” (AQ). Menurut definisi beliau, Adversity Quotient adalah “the capacity of the person to deal with the adversities of his life. As such, it is the science of human resilience,” atau bila diterjemahkan “kemampuan seseorang untuk menghadapi tantangan kesengsaraan dalam hidupnya. Singkatnya, ini adalah ilmu tentang daya kenyal manusia.” Istilah “daya kenyal” sendiri mungkin terdengar aneh, karena itulah terjemahan yang saya dapat dari Kamus Inggris-Indonesia “standar” yang disusun oleh John M. Echols dan Hassan Shadily. Istilah itu sendiri maksudnya adalah kelenturan. Jadi, AQ merupakan intelejensi khusus yang berkaitan dengan kelenturan seseorang menghadapi problema kehidupan. Makin lentur ia, makin mampu ia menghadapi kesulitan hidup.
Sayangnya, seringkali seseorang begitu rendah AQ-nya, meski mungkin dianugerahi IQ tinggi. Karena itu, seringkali kita melihat ada orang yang pintar namun miskin. Ini karena ia tidak mampu menyiasati hidup. Sementara banyak orang tidak pintar namun kaya. Akan tetapi, jangan salah, pendidikan formal tetap perlu. Karena ada yang lebih penting daripada ilmu yang dipelajari dalam pendidikan formal, yaitu wawasan, logika dan jaringan. Itulah yang dikembangkan oleh orang-orang hebat yang sukses di bidangnya.
Bill Gates boleh putus kuliah dari Harvard. Akan tetapi ia punya jaringan teman-teman sevisi yang mewujudkan mimpinya membuat sistem operasi komputer dengan antar-muka berbasis grafis yang ramah dan mudah digunakan. Wawasannya pun jelas terasah karena ia tahu saat itu belum ada yang mewujudkan idenya. Demikian pula logikanya, baik logika algoritma numerik maupun logika bisnisnya pun jalan seiring. Maka terciptalah Microsoft Windows yang mendunia dan nyaris memonopoli pasar sistem operasi dengan GUI-nya yang indah dan disukai pengguna.
Banyak yang mengidentikkan kebahagiaan dengan kesuksesan. Sementara kesuksesan dianggap setali tiga uang dengan kekayaan. Padahal, itu tidak betul.
Kebahagiaan juga tidak berarti kita harus selalu tersenyum atau tertawa. Karena itu berarti kebahagiaan identik dengan kesenangan dan rasa senang. Padahal, kebahagiaan jauh lebih luas daripada itu.
Kebahagiaan bisa didapat dari banyak hal. Salah satu aspek yang sering diajarkan orang-orang tua di Jawa adalah sikap “nrimo ing pandum”. Dalam Islam, dikenal istilah “qona’ah”. Ini merupakan perwujudan sikap menerima apa yang kita dapat -dengan pengertian dianugerahkan oleh Tuhan sebagai berkah- setelah berikhtiar. Jadi, semua harus didahului ikhtiar atau usaha, bukan dengan berpangku tangan dan berkeluh-kesah.
Adversity Quotient adalah kemampuan untuk “nrimo ing pandum” atau “qona’ah” tadi. Dalam segala yang kita hadapi dan terima, kita harus mampu mencari “blessing in disguise”-nya. Dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi dengan AQ tinggi akan mampu mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang lain. Ia akan tangguh berjuang menghadapi hidup dan menaklukkannya. Dalam proses itulah kebahagiaan diraih. Dengan menyikapi hidup sebagai arena perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan berbagi tanpa henti, niscaya kebahagiaan  hidup itu akan tampak realistis dan bisa dicapai segera tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih dulu.
Penulis adalah pemilik blog LifeSchool Bhayu

Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang

Adversity Quotient, merupakan suatu penilaian yang mengukur bagaimana respon seseorang dalam menghadapai masalah untuk dapat diberdayakan menjadi peluang. Adversity quotient dapat menjadi indikator seberapa kuatkah seseorang dapat terus bertahan dalam suatu pergumulan, sampai pada akhirnya orang tersebut dapat keluar sebagai pemenang, mundur di tengah jalan atau bahkan tidak mau menerima tantangan sedikit pun. Adversity Quotient dapat juga melihat mental taftness yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam Adversity Quotient, kelompok atau tipe orang/individu dapat dibagi menjadi tiga bagian, dimana hal ini melihat sikap dari individu tersebut dalam menghadapi setiap masalah dan tantangan hidupnya. Kelompok/tipe individu tersebut, antara lain adalah:

Quiters
Merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam hidupnya. Hal ini secara tidak langsung juga menutup segala peluang dan kesempatan yang datang menghampirinya, karena peluang dan kesempatan tersebut banyak yang dibungkus dengan masalah dan tantangan. Tipe quiter cenderung untuk menolak adanya tantangan serta masalah yang membungkus peluang tersebut.

Campers
Merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapai masalah dan tantangan yang ada, namun mereka melihat bahwa perjalanannya sudah cukup sampai di sini. Berbeda dengan kelompok sebelumnya (quiter), kelompok ini sudah pernah menima, berjuang menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu pergumulan / bidang tertentu, namun karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.

Climbers
Merupakan kelompok orang yang memilih untuk terus bertahan untuk berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal - hal lain yang terus menghadang setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus berjuang tanpa mempedulikan latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus mendaki dan mendaki.
Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang masing - masing merupakan bagian dari sikap seseorang menghadapai masalah. Dimensi - dimensi tersebut antara lain adalah:

1. C = Control
Menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memiliki kendali dalam suatu masalah yang muncul. Apakah seseorang memandang bahwa dirinya tak berdaya dengan adanya masalah tersebut, atau ia dapat memegang kendali dari akibat masalah tersebut

2. Or = Origin
Menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memandang sumber masalah yang ada. Apakah ia cenderung memandang masalah yang terjadi bersumber dari dirinya seorang atau ada faktor - faktor lain di luar dirinya
Ow = Ownership
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang mengakui akibat dari masalah yang timbul. Apakah ia cenderung tak peduli dan lepas tanggung jawab, atau mau mengakui dan mencari solusi untuk masalah tersebut

3. R = Reach
Menjelaskan tentang bagaimana suatu masalah yang muncul dapat mempengaruhi segi-segi hidup yang lain dari orang tersebut. Apakah ia cenderung memandang masalah tersebut meluas atau hanya terbatas pada masalah tersebut saja.

4. E = Endurance
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang memandang jangka waktu berlangsungnya masalah yang muncul. Apakah ia cenderung untuk memandang masalah tersebut terjadi secara permanen dan berkelanjutan atau hanya dalam waktu yang singkat saja. 
Keseluruhan nilai dari dimensi ini akan menentukan nilai dari Adversity Quotient seseorang.
Diterbitkan di: 10 Desember, 2008   


Kecerdasan Mengidentifikasikan Masalah, Menanggulangi Masalah Serta Mengambil Keputusan Secara Baik Dan Benar

Untuk bisa sukses menjadi seorang staf di perusahaan dituntut untuk memiliki kecerdasan di atas rata-rata kecerdasan manusia umumnya. Secara anekdot dinyatakan bahwa seorang staf di perusahaan dituntut mempunyai kecerdasan rata-rata 200 % atau 100 % diatas kecerdasan rata-rata manusia pada umumnya. Untuk menjadi staf pemula di perusahaan, maka test IQ – test Kecerdasan Intelektual diperlukan agar memenuhi syarat minimum yaitu seorang yang cerdas. Jadi seorang staf di perusahaan tidak mungkin dari kalangan idiot.

Namun seorang staf di perusahaan juga seorang yang mampu mengendalikan emosinya, yaitu mempunyai Kecerdasan Emosional – Emotional Quotient – EQ yang baik . Emosi yang meledak-ledak tidak saja bisa membahayalan sang staf di perusahaan itu sendiri tetapi juga dapat membahayakan perusahaannya yang sekaligus membahayakan masa depan investasi para pemilik modal . Tapi staf di perusahaan yang tanpa emosi, perusahaannya akan melempem, oleh karena itu seorang staf / pejabat di perusahaan harus mempunyai emosi yang tinggi namun mampu dikendalikan, dimanfaatkan secara cerdas.

Seorang staf di perusahaan adalah juga seorang yang mempunyai Kecerdasan Kreatifitas – Creativity Quotient – CQ, agar mampu bersaing dengan perusahaan lainnya. Perusahaan yang maju adalah perusahaan yang mempunyai para staf di perusahaan yang kreatif untuk bersaing dan mampu menumbuh-kembangkan perusahaannya. Namun seorang staf di perusahaan dituntut juga menjadi seorang penganut agama yang saleh, mempunyai RQ – Religious Quotient – Kecerdasan Beragama yang baik.

Dan seorang staf di perusahaan juga seorang yang cerdas dalam mengamalkan Spiritual Quotient – SQ – Kecerdasan Spiritual yang tidak sekedar dapat membedakan yang halal dan yang haram , yang bermudharat, yang bermanfaat dan bermartabat yang tidak saja dari segi ajaran agama – RQ – Religious Quotient , tetapi juga kecerdasan dari tanggung jawab moral, etika dan integritas secara lebih luas lagi. Yang kemudian berkembang lagi menjadi ESQ – Emotional Spiritual Quotient – Kecerdasan emosi dan spiritual .
Melengkapi untuk menjadi staf di perusahaan yang paripurna yang mempunyai 200 % kecerdasan rata-rata, maka sekarang sedang dipopulerkan kecerdasan AQ – Adversity Quotient – Kecerdasan mengidentifikasikan masalah dan menanggulangi masalah serta mengambil keputusan secara cerdas, dengan baik dan benar. Sekarang makin terasa bahwa seorang staf di perusahaan bukan semata-mata mempunyai IQ yang baik, disertai EQ, CQ, RQ, SQ yang baik saja, tetapi juga mampu menerapkan AQ secara baik dan benar, sehubungan dengan keharusan penerapan Manajemen Risiko dan Good Corporate Governance karena risiko juga adalah sisi lain dari masalah yang perlu diatasi. Pelatihan ini dapat membantu perusahaan dalam untuk membentuk staf / pejabat di perusahaan yang paripurna yang mempunyai kecerdasan 200 % dibanding manusia dari profesi lainnya .

PENGERTIAN “ADVERSITY QUOTIENT” DAN MANFAATNYA

DALAM PEMBERDAYAAN KARYAWAN


Tidak jarang dalam dunia kerja ada sekelompok karyawan yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi kalah bersaing oleh para karyawan lain yang ber-IQ relatif lebih rendah namun lebih berani menghadapi masalah dan bertindak. Mengapa sampai seperti itu? Dalam bukunya berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, Paul Stoltz memperkenalkan bentuk kecerdasan yang disebut adversity quotient (AQ). Menurutnya, AQ adalah bentuk kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang penuh tantangan. Ada tiga kemungkinan yang terjadi yakni ada karyawan yang menjadi kampiun, mundur di tengah jalan, dan ada yang tidak mau menerima tantangan dalam menghadapi masalah rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat dianalisis seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah tantangan menjadi peluang.
Kembali kepada Stolz, dia mengumpamakan ada tiga golongan orang ketika dihadapkan pada suatu tantangan pendakian gunung. Yang pertama yang mudah menyerah (quiter) yakni dianalogikan sebaga  karyawan yang sekedarnya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan pada serba yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah jalan. Golongan karyawan yang kedua (camper) bersifat banyak perhitungan. Walaupun punya keberanian menghadapi tantangan namun dengan selalu mempertimbangkan risiko yang bakal dihadapi. Golongan ini tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena berpendapat sesuatu yang secara terukur akan mengalami resiko. Sementara golongan ketiga (climber) adalah mereka yang ulet dengan segala resiko yang bakal dihadapinya mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Dalam dunia kerja, karyawan yang ber-AQ semakin tinggi dicirikan oleh semakin meningkatnya kapasitas, produktivitas, dan inovasinya dengan moral yang lebih tinggi. Sebagai ilmu maka AQ dapat ditelaah dari tiga sisi yakni dari teori, keterukuran, dan metode. Secara teori, AQ menjelaskan mengapa beberapa orang lebih ulet ketimbang yang lain. Dengan kata lain apa, mengapa dan bagaimana mereka berkembang dengan baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit. Dalam konteks pengukuran, AQ bisa digunakan untuk menentukan atau menseleksi para pelamar dan juga untuk mengembangkan daya kegigihan karyawan. Sebagai metode, AQ dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, kesehatan, inovasi, akuntabilitas, focus, dan keefektifitasan karyawan.
Beberapa perusahaan di dunia seperti FedEx, HP, Procter & Gamble, Marriott, Sun Microsystems, Deloitte & Touche, and 3M telah memanfaatkan model AQ ini. Dengan AQ mereka mampu mengatasi permasalahan bisnis dan kinerja karyawan. Antara lain dengan solusi AQ mereka melakukan program-program memerluas kapasitas karyawan dengan lebih efektif, mengembangkan kepemimpinan yang ulet atau gigih, menciptakan perilaku gigih dalam suatu tim kerja, memercepat perubahan dan menjadikan AQ sebagai salah satu komponen budaya korporat, memerkuat moral dan mengurangi kelemahan karyawan, meningkatkan mutu modal manusia dan mendorong inovasi, dan memerbaiki pelayan pada pelanggan dan penjualan.
Tulisan asli dari artikel ini dan berbagai sudut pandang menarik lainnya tentang MSDM dapat juga diakses langsung melaui: “ADVERSITY QUOTIENT” DAN PEMBERDAYAAN KARYAWAN
Oleh :
Prof. Dr. Ir. H. Sjafri Mangkuprawira seorang blogger yang produktif, beliau adalah Guru Besar di Institut Pertanian Bogor yang mengasuh berbagai mata kuliah di tingkat S1 sampai S3 untuk mata kuliah, di antaranya: MSDM Strategik, Ekonomi Sumberdaya Manusia, Teori Organisasi Lanjutan, Perencanaan SDM, Manajemen Kinerja, Manajemen Pelatihan, Manajemen Program Komunikasi. MSDM Internasional, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan,
Beliau adalah salah seorang pemrakarsa berdirinya Program Doktor bidang Bisnis dan dan saat ini masih aktif berbagi ilmu di Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB-IPB). Untuk mengetahui lebih lanjut tentang diri dan pemikiran-pemikiran beliau, silakan kunjungi Blog beliau di Rona Wajah
NH. Yanti, dari berbagai sumber. (2011)

Kamis, 08 September 2011

Ikan Sapu-sapu Goreng




Ini kisahku saat liburan Idul Fitri 1432 H / 2011 di sebuah tempat di selatan Purwokerto. Setiap Lebaran aku selalu menyempatkan datang ke rumah di Purwokerto tepatnya di Grumbul Pengasinan, desa Kedungwringin, Kec. Patikraja, Kab. Banyumas. Pada hari sabtu siang yang cerah tiba2 aku ingin makan lele goreng (penginnya) dan kebetulan Bapakku tuh miara ikan jenis itu di bak penampungan pemeliharaan ikannya yang letaknya di belakang rumah. Bak itu seukuran bak mandi cuma lebih panjang. Kalau ga salah panjangnya sekitar 2 meter. Tapi apa dikata setelah nyebur ke bak itu ternyata yang ketangkep malah 3 ekor ikan sapu2 (lha…:p).
Dalam hati aku bertanya2 apa ikan sapu2 bisa dimakan??? Aku jadi mulai mambatalkan niatku makan ikan. Ga disangka, eh ternyata Bapak malah langsung menguliti ikan sapu2 itu dan nyuruh aku nyiapin bumbu. Jadi inget komentar jail anak SLB murid Bapakku yang lagi main ke rumah. Pas liat ikan sapu2 di toples kaca ruang tamu waktu itu (beberapa tahun lalu). Dia menyebut ikan sapu2 itu sebagai “ikan cium2” (hihi). Imajinasinya unik juga anak itu. Mungkin karena melihat kebiasaan ikan itu yang suka nempel di kaca bagian dalam toples tempatnya berenang. Apa iya ya? Lupa juga aku ga sempet nanya ke anaknya.
Ihwal ikan sapu2 yang jadi makanan manusia sich aku pernah liat di tivi, ada orang makan ikan sapu2 dan ga beracun. Kesimpulannya berarti hewan ini masuk kategori bisa dimakan alias eatable (hoho). Apalagi denger2 dari cerita Bapak kalau tetangga2 juga ada yang pernah makan ikan ini. Terus terang aku masih enggan, karena belum pernah makan daging ikan berkulit hitam itu. Oke ga masalah, aku siapin aja bumbu untuk mengolah ikan sapu2 itu.

Bahan2:
3 ekor ikan sapu2
Minyak goreng secukupnya

Bumbu2 :
Kunyit 1 cm
Jahe 1 cm
Bawang putih 2 siung
Bawang merah 2 buah
Ketumbar secukupnya
Garam secukupnya

Cara pengolahan :
Bersihkan ikan sapu2 artinya buanglah kulit luarnya yang hitam-tebal itu dan kotoran2 dari dalam perutnya. Kemudian potong2 sesuai selera dan cuci dengan air bersih. Sementara itu semua bumbu diulek sampe halus dan balurkan di potongan2 ikan. Siapkan wajan untuk menggoreng tuangkan minyak goreng secukupnya dan tunggu sampe minyak panas. Setelah minyak panas goreng ikan sapu2 dengan api sedang. Gorenglah sampe agak kering, lalu angkat dari wajan, dan tiriskan.
Taruhlah di piring makan dan ikan sapu2 goreng siap disantap dengan nasi putih yang pulen. Hah, ternyata enak juga…padahal aku sempat emoh tadinya. Kata Bapak rasanya kayak daging di bagian buntut. Mungkin kalau di daerah yang minus bisa menjadi solusi nutrisi bagi kebutuhan protein anak2 yang dalam masa tumbuh kembang sehingga kemungkinan bisa menekan angka busung lapar atau kurang gizi. Tapi apa ikan sapu2 hidup di sana ya? Entahlah :(




Senin, 05 September 2011

ES KUWUT BANJARNEGARA

        
         Alhamdulillaah, suara adzan berkumandang di masjid seantero desa. Tanda berbuka puasa di hari terakhir Ramadhan 1432 H. Hari ini aku membuat es kuwut yang rasanya segar, pertama kali aku makan es kuwut ini pas dibeliin sama sepupuku yang sekolah di SMA 1 Banjarnegara. Coz penjualnya biasa mangkal di deket SMANSA Banjar, hihi... Niat banget ya sepupuku beli es kuwut padahal perjalanannya ke rumah sekitar setengah jam. Pulang sekolah dia bawain es kuwut yang rasanya unik itu… asli aku ga nyangka ternyata rasanya enak dengan rasa yang asam-manis-segar. Sebelumnya sepupuku itu suka cerewet nyritain perihal es kuwut yang bikin aku penasaran banget, suer. Dari namanya aja terdengar imut, unik, dan jadi pingin nyoba…hhh
         Minuman ini paling pas kalau disajikan setelah menyantap makanan yang mengandung kolesteol tinggi seperti opor ayam atau hidangan daging2an lainnya. yummy…slurp…segar. Ini dia bahan2 dan cara buatnya. Mudah dan siapapun bisa bikin, monggo dicobi:D

Bahan2 :
Melon
Blewah
Mentimun
Timun suri
Agar2 warna merah
Bahan untuk membuat simple sugar : Gula pasir secukupnya dan 1 buah jeruk nipis
Sirup rasa melon
Air matang
Es batu

Cara bikinnya :
Serut semua buah: melon, blewah, dan timun. Atau dipotong kotak2 seperti es buah juga bisa, sesuai selera masing2. Kemudian tempatkan di wadah. Didihkan air satu gelas bersama gula pasir dan setelah mendidih beri perasan jeruk nipis. Setelah gula agak kental baru diangkat. Ambil air dingin dan larutkan agar2 di panci kemudian rebuslah dengan api besar dan masak sampe mendidih. Tuang agar2 ke loyang datar dan tunggulah sampe dingin baru diiris2 bentuk dadu2 kecil.
Siapkan gelas dan masukkan buah yang sudah diserut, agar2, air minum matang, dan simple sugar yang diberi perasan jeruk nipis tadi. Tambahkan sirup melon dan es batu. Nah, Es Kuwut siap disantap.
Segarnya menghilangkan setelah menyantap makanan yang bersantan dan berkolesterol. Apalagi di siang hari bolong yang panas…Subhanalloh nikmatnya…:D
Kalau rasa jeruknya lebih suka yang tidak dimasak bareng gula pasir, maka perasan jeruk nipis ditambahkan di gelas saji masing2. Suka2 aja tergantung selera masing2 orang sich. Ingat! takarannya harus pas untuk mnghasilkan rasa yang unik. Kalau kebanyakan air jeruk nipis,  jadinya masam. Penasaran? So, try this recipe in your home the only special culinary from Banjarnegara.hehe…J

Terjadi di Adipasir, sepenggal kisah akhir Ramadhan 1432 H
Bersama lantunan takbir Idul Fitri

Rabu, 03 Agustus 2011

Antara Beth dan Koen

     Ini si Beth nama lengkapnya Bethina, oh bukan betina. Cara pelafalannya huruf ‘e’ dibaca seperti pada kata sate. Macam orang Batak bilang huruf ‘e.’ Tapi yang jelas dia memang kucing betina. Manis kan kucingku? Walaupun dia hanya seekor kucing kampung.

     Saat masih kecil, aku membawanya dari deket rumahnya Lik Warto. Dari seberang jalan depan rumah Likku. Waktu itu dia lagi meong2 manggil2 induknya. Ditinggal sama induknya di antara karung2 yang isinya entah apa, mungkin isinya padi. Dia sendirian deh, mungkin induknya lagi pindahan nyari tempat tinggal baru dan si Beth ini terlupakan oleh induknya. Karena tiba2 induknya amnesia (hehe). Kasihan...

     Langsung kucing kecil itu kutangkap dengan kedua tanganku dan kupegang erat2 biar ga lepas, dia masih semangat mengeong. Suara cemprengnya, dan tubuh mungilnya bergetar. Kemudian kubawa masuk ke rumah Pak Likku, terus akhirnya Desi sama Gowo (2 orang sepupuku) nganterin kucing itu ke rumahku naik motor. Itu udah adzan maghrib dan aku kebetulan ke tempat Likku naik sepeda ontel ibuku. Sepeda merek Phoenix warna hijau bikinan China. Perjalanannya ke rumah Likku sebentar mungkin ga sampe 5 menit jaraknya cuma satu kilometer. Aku ke rumah Pak Likku menjelang maghrib.

     Pas udah nyampe rumah aku ga tahu kucing kecil itu mesti kutaruh dimana, akhirnya kutaruh di kasurku saat tidur malem. Jadinya aku tidur sama anak kucing. Selimutin sekalian dah sama baju bekas biar ga kedinginan karena kamarku ini ventilasinya lebar banget. Kalau malem udaranya jadi sangat dingin, ventilasi ini letaknya di atas jendela lebar yang kira2 ukuran jendelanya 2,5 x 1,5 m. Aslinya kamarku tuh kamar keroyokan, bukan kamarku pribadi karena semua orang di keluargaku: ibu, embah, adik, Pak Lik (adik bungsu ibuku) biasa tidur di situ bergantian. Karena emang ga ada pintunya hanya disekat dengan lemari di sekelilingnya. Dan jalan masuk ke sana melalui “pintu” yang berupa tirai hijau. 

     Oke, lanjut ke cerita kucingku lagi. Waktu itu aku lagi bingung mikirin nama. Mau kukasih nama siapa anak kucing hasil mungut itu. Tapi sampe beberapa hari tidak jua kutemukan nama yang pas. Biarlah sambil jalan aja, nanti pasti bakal nemu nama juga. Sempet terpikir nama Qiyu dan aku sudah membiasakan memanggilnya dengan nama itu. Tapi setelah dipikir-pikir kayaknya nama itu kurang cocok buat kucing betina.
     
     Pas baru beberapa hari di rumahku, dia sangat suka main di depan jendela kaca rumah sebelah, rumah Lik Her. Kebetulan ada tawon yang terbang di dekatnya. Dikira mainan maka dengan asyiknya dia bikin mainan tuh tawonnya. Walhasil, disengatlah kaki kanan depan si Beth. Jadinya bengkak, gede banget. Bengkaknya kira2 dua kali ukuran kaki normalnya. Bayangkan, kucing sekecil itu menanggung rasa sakit yang mungkin tidak tertanggungkan gara2 sengatan tawon.
     
     Setelah kulihat kakinya, dia aku kasih madu di kaki yang bengkak itu. Asal aja sich sebenernya. Karena ga tau apa yang harus aku lakuin. Sebelum diolesi madu dia udah kuusap2 dengan kelopak bunga mawar pink yang saat itu lagi mekar2nya di halaman deket jemuran. Anehnya pada malam harinya, dengan kaki yang masih bengkak itu si Beth udah main tali rafia hitam. Tali rafia itu panjangnya kira2 20 senti, entah nemu dimana tuh tali rafia. Dia main di ruang tivi sambil kutemani, ngegemesin banget kelincahannya memainkan tali rafia. Aku menatapnya bingung kok bisa ya lagi bengkak gitu malah main, mana semangat banget. Mungkin itu cara dia mengatasi rasa sakit dengan melupakan rasa sakit. Pertahanan diri seekor kucing, pikirku.

     Beberapa hari kemudian kaki kucingku itu sembuh, seneng deh ngeliat dia sehat. Tadinya aku mikirnya dia akan mati gara2 tersengat tawon. Tapi ternyata daya tahan tubuh mungilnya kuat. Alhamdulillah, aku batal kehilangan kucing yang mulai kusayangi itu. 

     Pertama kali dateng kuberi makan susu cair, dan kucingku doyan. Oh iya, jadi inget kucing tetangga yang suka main ke rumah. Bulunya putih dominan dan ada campuran warna lain oranye, hitam, dan warna kelabu di beberapa bagian tubuhnya. Kucing itu seekor kucing betina, pada awalnya (hoho). Kami (aku, adikku, dan sepupu2ku) sempat memberinya nama “Koen,” sebuah kata dalam bahasa Jepang yang artinya taman. Kalau dalam bahasa Jawa (baca: kowen) kata itu artinya “selokan” hihi...jahil banget ya ngasih namanya asal. Ga tau deh dia dikasih nama siapa sama majikannya. Asli, kucing itu manis banget. Keren deh warna bulu dan struktur tubuhnya. Masuk kategori kucing ningrat piaraan orang2 kaya, hehe.

     Setiap hari si Koen dateng buat main bareng kucingku yang masih lebih kecil dibanding si Koen itu. Mungkin kucingku nganggap Koen adalah kakaknya. Kucingku dan Koen sama2 punya buntut panjang. Klop dah, untuk urusan sama2an buntut (hehe). Setiap kali dateng buat menemui kucingku Koen harus melalui perjuangan yang lumayan berat karena dia harus menyeberang jalan raya dengan resiko ketabrak kendaraan yang lewat. Benar2 pengorbanan yang sangat besar. Rumah majikan Koen adalah sebuah warung makan di samping SMP yang letaknya di seberang rumahku. Jadi, setiap kali main ke rumahku demi menemui kucingku Koen harus melalui jalur itu untuk sampai di seberang. Ga ada jalan lain selain jalur itu. Rutinitas itu dilakukannya sampe kucingku agak gedean dikit. Mungkin seumuran ABG ukuran kucing dan Koen udah sampe umur dewasa ukuran kucing juga.

     Penampilan Koen hampir selalu wangi karena Bu Yuli majikannya, sering memandikannya dengan shampo yang wanginya awet. Sepupuku jadi suka banget mengacak-acak bulu si Koen. Sampe suatu hari, terjadi perubahan pada fisik Koen, terdapat gumpalan (tonjolan daging tepatnya) di anatomi tubuh belakangnya. Apa itu? Ohh, ternyata eh ternyata dia berubah jadi “kucing jantan.” Sungguh ajaib karena selama ini kami mengira dia betina tulen. Terlalu rumit untuk dipahami, kok bisa ya? 

     Kalau dia manusia mungkin pengidap Klein Felter yang DNA-nya berubah jadi jenis kelamin kebalikannya. Kasihan Koen. Dilihat dari penampilannya yang feminin semua tahu kalau Koen itu seekor kucing betina. Beneran loh, salah satu keajaiban dalam dunia kucing terjadi di depanku. Makanya aku ga nyangka dengan perubahannya itu. Mungkin Allah sedang menunjukkan Kemahakuasaan-Nya dalam penciptaan makhluk-Nya dan kami dipilih untuk menyaksikan semua itu melalui peristiwa yang terhampar di hadapan kami.

     Bahwa Allah Maha Berkehendak, apapun yang Dia kehendaki terjadi maka terjadilah. Aku jadi tercenung merasa sangat nano, hanya setitik debu di belantara jagad raya ini. Ya Alloh, betapa Maha Besarnya Kekuasaan-Mu…

     Akibat kejadian itu, maka sepupu2ku sering manggil kucingku Beth yang nama panjangnya jadi “Bethina” (cara ngucapinnya pinjem lidah orang Batak dulu ya, hehe). Mungkin buat ngebedain sama Koen bahwa kucingku itu betul2 betina beneran. Nama yang aneh, gokil. Tidak terduga bakal dikasih nama kayak gitu. Aku sayang banget sama kucingku yang akhirnya punya nama Bethina.

     Beberapa bulan Beth di rumahku badannya udah tumbuh jadi lebih gede, aku punya kebiasaan aneh dalam memperlakukannya. Apa itu? Ya, aku suka banget adu jidat sama Beth. Caranya jidatku dan Beth dijedukkan, ga tau kepala Beth sakit atau ga. Tapi aku sering adu jidat model begitu. Nah itulah yang bikin aku ga habis pikir, ga ada angin ga ada hujan. Pagi2 saat aku masih tidur Beth berdiri di atas tubuhku dengan keempat kaki menapak di area sekitar dada sampe perut (aku tidur telentang waktu itu, biasanya ga). Dan dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tanpa tahu apa2 kurasakan basah2 di bibirku. Oh ternyata Beth berhasil mengendus-endus bibirku dan menempelkannya sekalian hidungnya yang basah itu di bibirku. Huek, Beth jorok. Kontan aku bangun sambil misuh2. 

     Berdasarkan laporan dari saudaraku Beth memperlakukan orang yang lagi tidur kayak gitu juga ke siapapun di rumah: adikku, sepupu2ku, termasuk aku juga. Aneh. Adu jidat yang berakhir mengenaskan. Ga apa2 sich sebenernya, tapi ya itu Beth kan kucing (bukan suamiku, hehe) dan aku takut ada toksoplasma di bagian hidung dan mulutnya yang basah itu dan nular ke aku. Hiii

     Aku tidak bisa terus bersama Beth di rumah, aku harus lanjut kuliah di Solo. Maka kutinggalkan Beth diurus adikku dan sepupu2ku yang semuanya suka kucing. Beberapa bulan kemudian Beth bunting, aku masih semester matrikulasi di jurusan Manajemen. Semester percobaan untuk bisa lanjut ke semester berikutnya dengan syarat nilainya harus bagus dan ga ada nilai D. Kalau ternyata ada D di transkrip berarti DO dan tidak bisa melanjutkan studi di prodi Manajemen. Oke, kembali ke kisah Beth lagi. Dari kabar dan telfon2an dengan adikku dan sepupu2ku Beth ternyata kawinnya ga sama Koen tapi ga tau sama pejantan yang mana. Duh, kukira bakal jadian sama Koen karena dari kecil kan Beth udah main bareng tiap hari sama Koen. Tapi ya begitulah pilihan Beth, aku jadi mikir dan bertanya-tanya apa kucing juga punya pilihan hidup ya? Maksudnya kebebasan dalam menentukan “jodohnya” Hhhh

     Memang ga ada hubungan apa2 antara si Beth dan si Koen. Hanya sebatas pertemanan antar kucing. Karena mereka ga jadi pasangan dan punya anak. Setelah Beth kawin sama kucing lain, si Koen udah ga pernah muncul nemuin Beth. Mungkin dia patah hati ditinggal kawin sama Beth.
                                                                                   ***

Beth Junior



     Kalau ini salah satu anggota BJ (Beth Junior), anak Beth. Satu2nya anak Beth yang berjenis kelamin betina. Kembarannya yang lain jantan semua. Aku belum sempet ngasih nama sama cucu2ku (hmm). Tua banget sich aku tiba2 jadi mbah anaknya Beth. Umurnya baru 1 bulan pas kufoto, kupingnya udah berdiri (daun telinganya) kalau umurnya kurang dari sebulan biasanya kupingnya masih kuncup. Beth ngelahirin 4 ekor anak kucing. 3 ekor mirip2 Beth bulunya dan yang 1 ekor lagi warnanya item-putih. Kayaknya Beth selingkuh deh, heh kok aku punya kucing ga setia sama pasangan? Pertanda apakah ini???… 

     Begitu tahu ada 1 anaknya yang beda bulunya, Beth membawa tuh anaknya pergi entah kemana dan pulang2 Beth malah celingukan. Seperti sedang mencari sesuatu. Mungkin dia lupa naruh dimana anaknya yang bulunya item-putih itu. Sampai berhari-hari anak Beth yang item-putih itu ga kelihatan juga, mungkin Beth bener2 membuangnya. Kejam juga ternyata si Beth.

     Saat menyusui anak bagi Beth telah mengubah segalanya (aih..) dari Beth yang sebelumnya suka banget bersih2, sampe berjam-jam kalau lagi ngebersihin bulunya. Begitu udah ngelahirin penampilannya jadi keliatan sangat lepek bulu2nya. Pokoknya bukan seperti Beth yang biasanya. Bulunya jadi lengket2 ke kulitnya dan Beth keliatan tambah kurus. Pengorbanan jadi seekor ibu kucing, ya begitulah hidup…hehe

     Kira2 umur anak2 Beth masih 1 bulan lebih ketika tragedi itu terjadi (jadi sedih:( ..). Suatu ketika Beth membawa seekor tikus yang ditemukannya di rumah atau di kebun tetangga. Tikus yang udah mati, bukan yang masih seger hasil nangkep sendiri. Maka dibawalah tuh bangkai tikus ke rumah. Niatnya mungkin mau buat ngasih makan anak2nya. Tapi, beberapa saat setelah mereka berpesta menggigit-gigit tikus itu semuanya terserang penyakit aneh. Gejala awalnya lemes2, ini kuketahui dari laporan adikku dan sepupu2ku. Untuk beberapa hari mereka masih lemes2 dan muntah2. 

     Rupanya semua kucingku (Beth dan anaknya) keracunan. Gara2 tikus itu ternyata emang tikus yang mati diracun. Dan semua kucing di rumah selain Beth dan anak2nya juga keracunan. Ada si Engh (kucingnya adikku) dan si Sruntul (kucingnya Indah, sepupuku) semuanya tewas mengenaskan. Tragis banget akhir hidup semua kucingku itu. Beth malah ga ditemukan bangkainya entah mati dimana. Jadi, adikku dan sepupuku yang di rumah karena aku kuliah di Solo ga bisa nguburin jasad Beth. Total kucing yang mati di rumah ada 6 ekor. Beth dan 3 anaknya, si Engh, dan si Sruntul.

     Sampe sekarang kalau aku kangen sama Beth, tanpa sadar aku memanggil namanya. Seperti refleks, spontan, dan ga tau kenapa aku masih juga manggil Beth. Kadang2.
                                                                                  ***

“Untuk Beth : maafin aku ya kalau mungkin aku pernah mendzalimimu (pasti pernah). Sekarang kau di alam sana ga akan pernah kelaparan dan kehausan lagi. Ga seperti ketika kau bersamaku di sini. Terima kasih atas semua keceriaan yang telah kau bagi bersamaku. Kau seekor kucing betina yang manis. Mungkinkah kita bertemu lagi, Beth? Akankah Alloh mempertemukan kita lagi di sana??”

Pagi yang segar di Samuri, Ngoresan
2 Ramadhan 1432 H / 2 Agustus 2011 M, 06:32 WIB

NB : Setrilyun terima kasih buat adikku dan sepupu2ku yang udah ngerawat Beth ketika aku tidak bisa merawatnya karena terpaut jarak.


Si Srunthul
Si Engh
                                                                                               

Selasa, 02 Agustus 2011

Mengapa Menulis?




  1. Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai kurniaNya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data.
  2. Tapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak.
  3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab.
  4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi'i; ilmu adalah binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.
  5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu dan dikaruniai pengertian; adakah kemajuan?
  6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan.
  7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan.
  8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan dan penilaian.
  9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan.
  10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan.
  11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam.
  12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak.
  13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi
  14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan.
  15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran..
  16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, dan Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya?
  17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat 'jariyah'; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan.
  18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai.
  19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba.
  20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, "Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?"
  21. Moga kelak dijawabNya, "Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan."
  22. Tulisan sahih dan mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan.
  23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi "Baca!"
  24. Tersebut di HR Ahmad dan ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, "Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman...
  25. .."Tulislah!" Tanya Pena; "Apa yang kutulis, Rabbi?" Kata Allah; "Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu."
  26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam dan membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31)
  27. Dan "Baca!"; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca, Sebab...
  28. ..menulis -kata mereka- ialah alat bantu bagi yang hafalannya di bawah rata-rata, tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta.
  29. Muhammad hadir bukan dengan mu'jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut 'Bacaan'.
  30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi.
  31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia dan mengubah dunia.
  32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, dan tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan?
  33. Tiga Kekuatan Menulis 
  34. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, dan Daya Memahamkan.
  35. Daya Ketuk
  36. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan.
  37. Pertama, marilah jawab ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa ia harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?
  38. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis.
  39. Alasan kuat tentang diri, tema, dan akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan.
  40. Keterlibatan hati dan jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan.
  41. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah dan semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca.
  42. Menulis memerlukan kata yang agung dan berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap dan takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala.
  43. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran dan darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci...
  44. ...dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat dan bertaqwa (QS 16:66).
  45. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada goda kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya' dan sum'ah.
  46. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan dan perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci.
  47. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran dan darah, racun dan limbah; lalu disajikan pada pembaca.
  48. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu dan ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis dan berbagi.
  49. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, dan muntah bahkan saat baru mengamati awalnya.
  50. ...Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya.
  51. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati.
  52. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu' dan shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata..
  53. ...Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa..
  54. ...lalu menulis itu sekedar satu dari berbagai pancaran cahaya
  55. yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka.
  56. Daya Isi
  57. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa.
  58. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf dan tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru.
  59. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; "Fakidusy Syai', Laa Yu'thi: yang tak punya, takkan bisa memberi."
  60. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu dan berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti.
  61. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; dan membawakan makna ke alam tinggalnya.
  62. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal dan hati.
  63. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi.
  64. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang dan kedalaman tafsir.
  65. Dengan proses internalisasi; semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi.
  66. Sebab konon 'tak ada yang baru di bawah matahari'; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali.
  67. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali.
  68. Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi.
  69. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak.
  70. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih dan tertentu.
  71. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan sisi insaniyah.
  72. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari.
  73. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing-masing pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu.
  74. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.
  75. Daya Memahamkan
  76. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan satu pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia.
  77. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandingkan dirinya sendiri.
  78. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: "Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu."
  79. Setiap tulisan dan buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis "Aku tahu! Kamu tak tahu!" pasti berat dan membuat penat saat dibaca.
  80. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu.
  81. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari "Aku tahu! Kamu tak tahu!" menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, dan rendah hati.
  82. Penulis sejati ukirkan semboyan, "Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu."
  83. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cumaberbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi.
  84. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya.
  85. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu.
  86. Inilah yang jadikan tulisan akrab dan lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, dan rendah hati.
  87. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami.
  88. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai dan tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet dan jemari terhenti.
  89. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual.
  90. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan.
  91. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat..
  92. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli..
  93. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal.
  94. Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka.
  95. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja.
  96. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambah data.
  97. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini.
  98. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata.
  99. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan..
  100. ..dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama nan mengamalkan tulisan, dan berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, penuh cinta.
  101. Kali ini, tercukup sekian ya Shalih(in+at) bincang #Write. Maafkan tak melangkah ke hal teknis, sebab banyak nan lebih ahli tentangnya:)
  102. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal dan mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia.
  103. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, 'amal shalih, dan saling menasehati.
  104. Jika ada 'amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh ragu: tinggalkan menulis menujunya.

Dari : Kultwit Salim A Fillah