Alhamdulillaah aku lulus dengan nilai terbaik. Aku langsung sujud
syukur atas kelulusan ini. Setelah melihat pengumuman di sekolahku yang
ternyata namaku terpampamg di urutan paling atas untuk kelas IPA. Tidak
kuduga sebelumnya. Meskipun tiga tahun berturut-turut aku selalu jadi
juara 1 paralel di SMA Negeri Tuladha ini. Pagi yang mulai beranjak
siang terasa menghangat di hatiku. Gembira, lega, dan rasa syukur yang
beruah di sini. Bersama teman-teman yang juga berhasil lulus. Kulihat
juga di pengumunan semua temanku lulus UN.
“Tita, selamat ya kamu lulus dengan peringkat 1 kabupaten.” Kata Pak
Budi guru Fisika favoritku sekaligus wali kelas 3 IPA 2 memberi selamat
sambil menangkupkan kedua belah tangannya di depan dada. Gaya khas
beliau kalau bersalaman dengan perempuan, tidak bersentuhan kulit.
“Oiya Pak, terimakasih. Peringkat 1 kabupaten?” tanyaku sambil melongo
tidak percaya. Kedua tanganku sudah tertangkup di depan dada spontan
mengikuti gaya salaman Pak Budi.
“Iya, Ta. Nih
lihat di daftar peringkat peraih nilai tertinggi sekabupaten
Banjarnegara.” Kata Pak Budi meyakinkanku dengan menunjukkan sebuah
‘kertas penting.’ Telunjuknya menunjuk di daftar yang ada namaku. Benar.
Tita Wulansari di urutan nomor 1 dari SMA ini. Setelah kucek nomor
ujiannya ternyata nomor ujianku. Deg, serasa mau copot jantungku.
“Wah ga’ nyangka saya Pak. Tapi ya tetap saja tidak bisa melanjutkan
kuliah.” Wajahku menerawang jauh, wajah yang menurut teman-teman selalu
terlihat ceria dan cerdas. Kutatap wajah Pak Budi yang sumringah aku
jadi merasa tidak enak hati sudah keceplosan mengungkap isi hatiku yang
terdalam. Ups.
“Hidup memang sulit, tapi jangan
bikin kamu menyerah. Ada banyak jalan untuk mewujudkan mimpimu itu.
Bapak yakin Insya Alloh kamu bisa menghadapinya, kamu mampu,” nasehat
Pak Budi. Paham kondisi keluargaku. Kerapkali beliau menemui bapak
sekadar ngobrol-ngobrol. Rumah Pak Budi di desa Gelang, melewati 2 desa
dari rumahku ke arah barat.
“Kamu murid Bapak
yang cerdas, belum pernah Bapak punya murid sepertimu. Jangan sia-siakan
kecerdasanmu itu. Lanjutkanlah pendidikanmu ke bangku kuliah dan
ubahlah kondisi keluargamu,” Pak Budi melanjutkan nasehatnya dan duduk
di bangku kayu di samping ruang TU karena tempat pengumuman peringkat
kelulusan sesekolah dipasang di dekat ruang TU. Aku berpikir keras,
bagaimana aku bisa kuliah? Sedangkan bapakku berprofesi sebagai tukang
becak di pasar desa Adipasir yang bernama pasar Suwuk, sebuah desa di
kecamatan Rakit. Dan aku punya 5 orang adik yang masih kecil-kecil.
Apalagi mereka sedang butuh banyak biaya.
***
“Tita, tidak bisa ya kamu cari beasiswa dan langsung kuliah? Tidak perlu kerja jadi babu
dulu di Arab sana. Ibu takut kamu pulang tinggal nama,” Suara lembut
ibu memberi alternatif lain pada keputusanku ketika kuceritakan
keinginanku. Orang tuaku belum tahu niatku sebelumnya. Berat hatiku
mengungkapkannya ke orang tuaku. Seolah ada barbel ratusan kilo di
pundak.
“Sebenernya Tita dapat PMDK, Bu. Diterima di IPB
tapi setelah Tita pikir-pikir Tita mantap memilih jadi TKI ke Arab.”
Tita mencoba kukuh pada keputusannya. Ketika menatap ke dalam mata
ibunya, tersirat ketidaksetujuan di sana.
“Kalau masalah biaya
sekolah adik-adikmu, Bapak dan Ibu masih bisa usaha. Adik-adikmu
Alhamdulillah ada dermawan yang menanggung biaya pendidikan mereka. Dari
Gilar-gilar Peduli,” terang bapak yang seia-sekata dengan ibu.
Sama-sama tidak setuju aku akan pergi ke Arab. Aku menghela nafas.
Berat.
“Tita sudah pikirkan masak-masak, malahan sudah
istikharah juga dan hasilnya kemantapan hati Tita untuk pergi. Makanya
Tita berani minta ijin ke Ibu sama Bapak,” jelasku yang akhirnya mampu
mengeluarkan kata-kata yang serasa tercekat di tenggorokan. Memang bukan
keputusan yang mudah. “Ya Alloh, semoga orang tua mengijinkanku,” bisik
hatiku berdoa. Kutatap wajah ibu dan bapak yang berubah menegang
mendengar kata-kata yang baru kuucapkan.
***
Terdamparlah
aku di sebuah negeri yang jaraknya ribuan kilometer dari negeriku
Indonesia. Timur Tengah, nama negaranya: Arab Saudi. Keputusan berat ini
harus kuambil dengan segenap risiko yang mesti kutanggung. “Tita,
sebenarnya Bapak sangat berat melepasmu pergi. Takut dan khawatir bakal
dianiaya majikanmu di sana. Tapi kalau memang tekadmu sudah bulat Bapak
tidak akan melarangmu. Jaga dirimu baik-baik di sana. Jilbabnya harus
selalu kau pakai ya, Nak? Jangan sampai auratmu kelihatan,” ucapan bapak
terngiang-ngiang di telingaku. Wajah sabarnya terbayang di pelupuk
mataku. Kangen.
Aku turuti nasihat bapakku untuk terus memakai jilbab dan Alhamdulillah sampai sekarang aku baik-baik saja. Malahan saking
khawatirnya aku jahit pinggiran kerudung segi empatku dengan kode-kode
rahasia. Kode rahasia itu sebenarnya adalah nomor telepon yang harus
kuhubungi kalau terjadi apa-apa. Misalnya mendapat tindak kekerasan dari
majikan. Kubuat sandi sedemikian rupa agar tidak mencurigakan dan kata
majikan perempuanku kerudungku bagus, unik. Akhirnya dia pesan minta
dibuatkan kerudung seperti punyaku. Andai dia tahu arti hiasan pinggir
kerudungku…
Pekerjaanku lumayan berat, hampir 24 jam kecuali waktu sholat yang harus on time.
Dari mulai mengurus rumah yang 3 lantai, menemani 2 orang anak majikan
yang masih berumur 8 dan 6 tahun, memasak, menyetrika baju, dan seabrek
pekerjaan lainnya. Apalagi majikan perempuanku itu buka butik di dekat
rumah. Sekitar 50 meter dari rumah letaknya. Kadang-kadang aku disuruh
membantunya di butik itu.
Setiap hari Sabtu sampai Ahad
majikan laki-laki pulang ke rumah. Namanya Pak Jafar, ku-Indonesiakan
pakai “Pak” agar lebih familiar. Seorang insinyur teknik yang bekerja di
perusahaan konstruksi. Postur tubuhnya tinggi atletis, kulit putih,
tatapan mata elang dengan hidung mancung khas orang Arab. Rambutnya
hitam-ikal dan bola mata berwarna coklat. Kalau Cristian Bautista itu
kunilai 10, majikan laki-lakiku 12! Pak Jafar sedang di rumah maka aku
biasa menyingkir ke ruang anak-anak bermain, ke perpustakaan rumah,
dapur, atau ke kamarku. Bukan karena takut, memang itulah aturan yang
sengaja dibuat istri majikanku yang bernama Bu Sholihah. Aturan yang
kusepakati saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.
***
Aku
khawatir akan terjadi hal buruk padaku. Membuatku stres, pikiranku
tidak tenang bahkan sering mimpi buruk. Ditambah lagi jadwal kerja yang
ketat. Aku lelah Ya Robb… Tiba-tiba, brukk!
Kubuka kedua mataku
pelan-pelan, aku silau melihat sinar lampu setelah lama terpejam,
membuatku berkedip-kedip beberapa saat di ruang serba putih. Sesosok
perempuan berkerudung duduk di samping ranjang yang juga putih.
“Halimah, kamu di rumah sakit sekarang. Tadi kamu pingsan pas lagi masak
kari unta.” Kata perempuan berkerudung itu, majikanku.
“Halimah?”
tanyaku dalam hati. Oiya, majikan perempuanku sering memanggilku
Halimah karena menurutnya mukaku mirip dengan temannya itu. Cuma kulitku
gosong. Kalau tidak memanggilku Tita ya Halimah. Orang Arab memang
kadang susah mengucapkan nama orang Indonesia. Seandainya namaku Sakinem
bakal dapat nama baru apa ya? “Kamu kenapa? Pakai acara pingsan segala.
Ibu kan sudah bilang kalau kamu cape’ ya istirahat dulu. Kerja jangan
diforsir, akhirnya jadi kayak gini!” Majikan perempuanku mulai
mengomeliku. Kamu pingsan sampai 4 jam! Gimana aku tidak khawatir!” Nada
suaranya meninggi. “Perlu kamu tahu ya, aku tidak mungkin menganiayamu
untuk urusan apapun di rumah. Dosa kalau aku melakukannya,” lanjut Bu
Sholilah melembut. Tadi aku sempat ingin pingsan lagi mendengar
omelannya. Tidak lihat kondisiku yang ‘baru kembali ke dunia nyata’.
Hhhh
“Tita, tolong kirim e-mail ke temanku ya?
Sekarang aku buru-buru mau pergi ke pasar mau belanja buat acara nanti
sore.” Kata Bu Sholihah tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang
menyetrika baju. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 “Pakai bahasa Inggris
kok, ga tulisan Arab. Kamu bisa kan?” lanjutnya sambil merapikan
kerudung hijau yang dipakainya di depan cermin ruang pakaian. Aku sedang
membenahi baju yang sudah selesai kusetrika ke lemari pakaian di ruang
pakaian. “Itu alamat e-mailnya ada di buku telepon dan cari
yang namanya Khumaira. Usahakan dikirim sebelum jam 2, siang ini juga
ya? Terima kasih,” tangan lembutnya menjabat tanganku disertai binar
mata cantiknya yang berseri indah. Kebiasaan baru majikanku pasca
pingsanku beberapa hari lalu, jadi suka menyalamiku ketika akan pergi.
Aku sudah lebih rileks menyesuaikan ritme hidup di sini.
“Insya
Alloh,” tukasku yang sampai sekarang masih terkagum-kagum dengan
kecantikan istri Pak Jafar. Padahal tiap hari aku bertemu majikan
perempuanku itu. Padahal aku perempuan, bagaimana kalau laki-laki.
Mungkin langsung jatuh cinta. “Cckk…cckk..ccckkk,” decakku tanpa sadar.
Subhanalloh cantiknya. Aku bersyukur karena kemampuan bahasa Inggrisku
lumayan. Waktu SMA skor TOEFL-ku 600, tidak tahu sekarang berapa. Jadi
aku tidak terlalu kesulitan mengerjakan tugas dari majikanku itu. Baru
kutahu ternyata Khumaira orang Inggris. Kata Bu Sholihah sore harinya
padaku waktu beres-beres dapur.
***
Hari-hari berjalan
dengan pasti, tanpa kenal henti. Tidak terasa sudah 2 tahun aku di Arab.
Akhirnya aku memperpanjang kontrak kerja untuk 2 tahun lagi setelah aku
menyelesaikan kontrak 2 tahun pertamaku. Aku akan bertahan untuk 2
tahun ke depan. Modal kuliah, hehe.
Empat tahun kemudian.
Selesailah
sudah masa-masa untukku mengumpulkan uang di negeri orang. Apakah aku
lupa impianku? Tidak sobat, tidak sedetikpun aku lupa. Maka inilah
saatnya aku pulang ke tanah air merealisasikan mimpi.
“Saya sudah bertekad akan melanjutkan kuliah, Bu. Saya tidak akan
datang ke sini lagi. Maaf, saya tidak bisa memenuhi harapan Bapak dan
Ibu berdua,” kataku menjelaskan. Koperku yang berat kuseret keluar
rumah.
“Selamat tinggal Tita, mudah-mudahan
Alloh memudahkanmu meraih impianmu.” Ucap Pak Jafar dengan suara
baritonnya. Aku mengangguk. “Aamiin, terimakasih atas doa Pak Jafar,”
kataku takzim.
“Hafid sama Nisa jangan nakal ya, kakak pulang dulu ke Indonesia. Nanti kita bisa kirim-kiriman e-mail
kalau kalian sudah lancar bahasa Inggrisnya. Kalau kakak pakai bahasa
Arab, belum lancar.” Senyumku mengembang dan kutatap lekat kedua anak
itu. Kucubit pipi Nisa yang menggemaskan. Mereka berdua benar-benar
cetakan kedua orang tuanya, sepasang saudara kandung yang cantik dan
tampan. “Iya, Kak. Indonesia itu jauh ya, Kak? Berapa lama naik
pesawatnya?” Tanya si kecil Nisa penasaran. Mata bulatnya menyiratkan
tanya yang besar. “Iya sayang, jaauuh…naik pesawatnya 8 sampai 9 jam,”
jawabku.
“Ibu Sholihah dan Pak Jafar terimakasih
banyak atas semuanya, kalian berdua adalah majikan yang sangat baik,
tidak akan pernah saya lupakan semua kebaikan kalian. Semoga Alloh
membalas kebaikan kalian. Dan mohon maaf atas segala kekhilafan saya
selama bekerja di sini,” kataku sambil tak kuasa menahan derai air mata
yang mulai menganak sungai. Di sela-sela persiapan keberangkatanku ke
bandara, Pak Jafar ngotot ingin mengantarkanku ke bandara dengan mobil
Honda Jazz-nya. Dan akhirnya mereka sekeluarga mengantarku. Aku sangat
senang.
***
Sampailah aku di semester
akhir kuliah sarjanaku di program studi Ilmu Pangan dan Gizi di
universitas negeri. Aku masuk D3 dulu karena batas umurku sudah lewat
untuk mendaftar di program sarjana universitas negeri. Ibu dan Bapak di
rumah sangat mendukungku melanjutkan studi. Adik-adikku tambah semangat
belajar dan berprestasi. Mereka semuanya dapat beasiswa, aku kagum dan
bangga punya adik seperti mereka. Umar, Aji, Indah, Dian, dan Tio. Nama
adik-adikku, yang terhebat di seluruh dunia. Adik-adik manisku, yang
dengan kejernihan hati dan akal kanak-kanaknya mampu memahami kondisi
orang tua yang serba kekurangan. Anak-anak yang ditempa oleh kepahitan
hidup. Menjadikannya dewasa sebelum waktunya. Segala kekurangan dan
keterbatasan semakin mengukuhkan kerja keras mereka, tekad mereka.
Membaja.
“Tita, penelitianmu memenangkan hibah
penelitian dari DIKTI. Selamat ya, silakan dilanjutkan,” kata Pak Heru
dosen pembimbingku setengah tahun lalu waktu aku mengajukan proposal
penelitian ke beliau. Eh, ternyata beliau mengusulkanku untuk
mendapatkan hibah penelitian dari DIKTI. Tidak dinyana tidak diduga.
Kuterima sepucuk surat keterangan berisi pengumuman pemenang hibah dari
DIKTI. Rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka.
Alhamdulillah.
Selesai kuliah sarjana aku
diminta universitas untuk mengajar. Mungkin karena IPK-ku ketika lulus
4.00 lulusan terbaik seuniv. Kurundingkan dulu dengan Bapak dan Ibu,
tidak lupa aku lakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk yang
terbaik dari Yang Maha Kuasa. Akhirnya jadilah aku mengajar di tempatku
kuliah. Ceritanya aku jadi dosen nih. Setahun kemudian aku dapat
beasiswa S2 ke Jepang. Kemudian Doktoralnya kuraih di Jepang juga. Waktu
kuliah di Jepang aku bertemu suamiku, cinlok orang bilang. Hehe.
Bapakku sudah tidak jadi tukang becak lagi sekarang. Beliau bisnis
keripik ikan mujair yang ikannya banyak dibudidayakan di daerahku. Untuk
kegiatan di masa tua, katanya. Meskipun aku sudah melarangnya
beraktifitas berat. Kalau ibu membantu bisnis bapak. Dan adik-adikku,
ada yang tembus di UI dan UGM. Yang ketiga dan keempat masih SMA, dan
yang bungsu masih di bangku SMP. Perekonomian keluarga kami semakin
membaik. Alhamdulillah, atas segala nikmat yang Alloh berikan padaku dan
keluargaku. Setelah semua kerja keras mengejar masa depan. Perjuangan
dan pengorbanan yang tak kenal henti. Meski miskin, meski udik, meski
apapun…tidak boleh putus asa. Mengasah mental kami.
Kau
masih ingat anak mantan majikanku dulu yang bernama Nisa? Ternyata dia
memilih kuliah di fakultas kedokteran UI! Anak yang cerdas, jadi ingat
dulu pas aku mengajarinya pelajaran Biologi di SD. Memang sudah sekian
tahun aku dan keluarga mantan majikanku masih menyambung silaturahim,
kami rajin kirim e-mail dan berceloteh-celoteh di FB dan Twitter.
“Semoga aku bisa mempersembahkan yang terbaik dalam sepenggal episode hidup ini. Karena-Mu Yaa Alloh…”
(sepenggal kata yang tertulis pada secarik kertas di buku agenda milik
DR. Tita Wulansari—namaku. Seorang mantan TKW yang pernah bekerja di
Arab Saudi).
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
NH. Yanti @Surakarta, 120911 (Terinspirasi o/ kisah seorang Doktor perempuan di Prov. Banten yg mantan TKI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar